SUMENEP – Banjir yang kembali merendam sejumlah kawasan di wilayah perkotaan Kabupaten Sumenep, Jawa Timur memunculkan sorotan tajam dari berbagai pihak, Rabu (14/5).
Gagalnya Tata Kelola Lingkungan
Genangan air yang melumpuhkan ruas jalan, merendam rumah warga serta menghambat aktivitas ekonomi masyarakat dinilai sebagai bukti nyata gagalnya pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sumenep, Sahid Badri, menilai bahwa persoalan banjir tidak bisa semata-mata dikaitkan dengan intensitas hujan, tetapi lebih pada lemahnya tata kelola lingkungan yang sudah berlangsung lama.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Banjir ini bukan hanya karena curah hujan tinggi. Ini adalah konsekuensi dari rusaknya sistem lingkungan di perkotaan. Sampah menumpuk di saluran air, kawasan resapan air berubah jadi bangunan, dan aktivitas galian C makin merajalela tanpa kontrol. Ini semua memperparah banjir,” ujar Sahid kepada Media, Rabu (14/5).
Menurutnya, drainase yang tidak lagi berfungsi optimal akibat penyumbatan sampah menjadi masalah utama. Banyak warga yang masih membuang sampah sembarangan, ditambah minimnya infrastruktur pengelolaan limbah, menyebabkan air hujan tidak mengalir sebagaimana mestinya.
“Ketika saluran air tersumbat, air pasti meluap. Ini bukan kejadian pertama. Tapi kita selalu terlambat menangani akar persoalannya. Harus ada perubahan pendekatan, dari reaktif menjadi preventif,” tegasnya.
Alih Fungsi Lahan dan Tata Ruang yang Lemah
Lebih lanjut, Sahid juga menyoroti maraknya alih fungsi lahan di Sumenep. Kawasan yang dulunya menjadi ruang terbuka hijau atau area serapan air, kini banyak berubah menjadi permukiman padat dan bangunan komersial.
Ia menilai hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan serta tidak konsistennya pelaksanaan tata ruang.
“Banyak lahan hijau yang kini ditutup beton. Dampaknya, air tidak lagi meresap ke tanah, tapi langsung melimpas ke jalan dan rumah warga. Pemerintah harus meninjau ulang perizinan dan tegas terhadap pelanggaran tata ruang,” imbuhnya.
Tak hanya itu, aktivitas galian C yang kian marak juga disebut sebagai faktor yang memperburuk kondisi lingkungan.
Sahid menyebut, aktivitas tersebut merusak struktur tanah dan menyebabkan degradasi lingkungan di beberapa wilayah yang seharusnya dijaga.
“Ini bukan sekadar soal legal atau ilegal, tapi soal dampak nyata di lapangan. Galian C merusak vegetasi, memperlemah tanah, dan memperbesar potensi banjir serta longsor,” katanya.
Perlu Langkah Konkret dan Terintegrasi
Melihat kompleksitas persoalan ini, HMI Cabang Sumenep mendesak Pemerintah Kabupaten Sumenep agar segera mengambil langkah strategis dan terintegrasi.
Menurut Sahid, perlu ada sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi pemuda untuk menyusun kebijakan lingkungan yang lebih berpihak pada keberlanjutan.
“Kita butuh langkah konkret, bukan hanya wacana atau reaksi musiman saat banjir terjadi. HMI siap menjadi mitra kritis dan kolaboratif untuk menjaga kelestarian lingkungan Sumenep,” pungkasnya.