Sumenep Banjir Rokok Ilegal, Ternak Pita Cukai, Pengusaha Bentuk Paguyuban: Strategi Bertahan atau Siasat Bertahan Hidup?

- Publisher

Selasa, 13 Mei 2025 - 23:37 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

M. Faizi (Jurnalis Serikat News)

M. Faizi (Jurnalis Serikat News)

KOLOM – Di tengah maraknya pemberitaan tentang berbagai persoalan sosial di Kabupaten Sumenep, satu fenomena diam-diam menyita perhatian: lonjakan produksi rokok ilegal. Tak hanya soal pabrik tanpa izin, tapi juga tentang bagaimana industri ini seperti menemukan jalannya sendiri – melenggang tanpa hambatan dalam kegelapan regulasi.

Ironisnya, di balik semua itu dibentuklah sebuah paguyuban pengusaha rokok. Sekilas tampak seperti forum silaturahmi. Tapi benarkah ini sebatas kumpul-kumpul biasa?

Ternak Pita Cukai”: Akal-Akalan Pengusaha di Tengah Celah Regulasi

Belakangan, istilah “ternak pita cukai” menjadi perbincangan hangat di kalangan pelaku industri rokok lokal. Fenomena ini merujuk pada praktik seorang pengusaha yang mengelola lebih dari satu pabrik, bukan atas nama efisiensi atau perluasan pasar, tapi demi mengakali aturan. Sistemnya seperti peternakan: satu orang banyak pabrik dan semuanya dijalankan tanpa pengawasan ketat.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pabrik-pabrik tersebut tersebar di pelosok desa, beroperasi sembunyi-sembunyi dan menghasilkan jutaan batang rokok yang tak pernah tercatat dalam sistem perpajakan negara.

Paguyuban Pengusaha Rokok: Solidaritas atau Strategi Bertahan?

Dalam kondisi ini, kehadiran paguyuban pengusaha rokok di Sumenep justru menjadi tanda tanya besar. Alih-alih sebagai wadah pembinaan atau edukasi, organisasi ini lebih terlihat sebagai perisai kolektif. Sebuah jaringan yang tak hanya menyatukan para pengusaha legal tapi juga membuka ruang komunikasi antar pelaku industri—tak peduli legal atau ilegal.

Baca Juga :  Manifestasi Matematika dalam Penentuan Waktu Salat

Pertanyaannya, apakah ini bentuk solidaritas atau justru semacam konsolidasi kekuatan agar jika ada penggerebekan, ada yang bisa diandalkan? Fakta bahwa banyak dari mereka beroperasi di luar batas legalitas menjadikan keberadaan paguyuban ini rawan disalahartikan.

Apalagi, tak sedikit masyarakat menduga bahwa pembentukan paguyuban hanyalah strategi bertahan hidup dalam situasi industri yang makin keras, bukan bentuk perbaikan sistemik.

Pengamat hukum ekonomi menilai, istilah “ternak pita cukai” menandai lemahnya pengawasan dan celah hukum yang masih bisa dimanfaatkan. “Ketika satu orang bisa menjalankan beberapa pabrik tanpa pengawasan ketat, itu pertanda ada krisis regulasi. Dan ketika paguyuban hadir tanpa transparansi, masyarakat berhak curiga ada agenda lain di balik layar,” ujar seorang pengamat yang enggan disebutkan namanya.

Lebih mengkhawatirkan lagi, industri ini cenderung menutup diri dari pihak luar. Komunikasi dengan media, LSM, bahkan aparat hukum hanya terjadi ketika mereka dalam posisi terjepit. Saat bisnis lancar, hubungan itu nyaris tak pernah dijalin. Hal ini memunculkan siklus komunikasi reaktif, bukan proaktif—sebuah kondisi yang tidak sehat untuk industri yang ingin tumbuh berkelanjutan.

Baca Juga :  Industri Rokok Lokal Diduga Jadi Kedok Bisnis Cukai

Padahal, menurut para aktivis, pengusaha seharusnya memandang komunikasi sebagai investasi, bukan pengeluaran. “Jika sedari awal mereka mau terbuka, duduk bersama wartawan, berdialog dengan LSM, atau berkonsultasi dengan ahli hukum, banyak konflik bisa dihindari. Sayangnya, pola pikir yang berkembang masih transaksional dan jangka pendek,” ungkap salah satu pemuda Sumenep.

Komunikasi yang Tertutup: Sumber Kecurigaan Publik

Di sinilah posisi paguyuban seharusnya dikaji ulang. Ia tidak boleh hanya menjadi wadah proteksi saat badai datang, tetapi harus menjadi jembatan komunikasi yang aktif dan terbuka. Paguyuban seharusnya bisa menjadi fasilitator dialog antara industri dan masyarakat termasuk memperjuangkan legalitas dan kepatuhan terhadap aturan negara.

Dengan tren konsumsi rokok yang tetap tinggi dan potensi penerimaan negara dari cukai yang sangat besar, keberadaan pabrik ilegal tentu merugikan banyak pihak. Tak hanya negara, tapi juga pelaku usaha legal yang berusaha taat aturan. Ketimpangan ini bisa memicu kecemburuan dan memicu konflik horizontal di tingkat pelaku usaha sendiri.

Baca Juga :  Demokrasi Kampus Terabaikan: Mahasiswa IAIN Madura Tuntut Transparansi

Karena itu, solusi terhadap maraknya rokok ilegal di Sumenep tidak bisa hanya mengandalkan razia dan penertiban sesekali. Butuh pendekatan sistemik yang melibatkan semua pihak—terutama dari sisi pengusaha itu sendiri. Jika benar ingin industri rokok lokal bertahan dan diterima publik, mereka harus menunjukkan komitmen pada keterbukaan, akuntabilitas, dan kemitraan sosial.

Paguyuban, jika diarahkan dengan benar, bisa menjadi motor perubahan. Tapi jika hanya dijadikan tameng, ia akan berubah menjadi simbol pembenaran kolektif terhadap pelanggaran. Sebuah wadah yang bukan hanya kehilangan legitimasi, tapi juga bisa jadi bumerang jika aparat benar-benar serius menindak pelanggaran.

Karena pada akhirnya, industri yang besar bukan yang paling kuat atau paling cepat beradaptasi, tapi yang paling mampu membangun kepercayaan publik. Dan kepercayaan itu hanya bisa dibangun melalui komunikasi yang jujur, terbuka, dan konsisten.

Sumenep memang sedang dalam sorotan. Tapi apakah sorotan ini akan berubah jadi sinar yang membangun, atau justru jadi cahaya yang membakar, semuanya tergantung pada pilihan para pelaku industrinya sendiri.

 

__________

*Oleh: M. Faizi (Jurnalis Serikat News)

Follow WhatsApp Channel timesin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Refleksi Hari Kemerdekaan Republik Indonesia Ke 80: Migas Sumenep, Siapa Diuntungkan?
Komisi Informasi: Seleksi, dan Nyinyir yang Tak Pernah Usai
Madura di Persimpangan Jalan: Menjadi Provinsi atau Tetap Bersama Jawa Timur?
Dana yang Menguap pada Hukum yang Mengendap: Drama Panjang BSPS
DPRD Bukan Lembaga Wisata, APBD Bukan Tiket Pelesiran
Berpikir Kritis: Mengakui Kekurangan Sebagai Strategi Kemajuan Pendidikan Islam
Dari #KataBisaUntag Mencerminkan Motivasi di Era Digital
Ketika Tabarruj Dianggap Biasa: Saatnya Kita Bertanya

Berita Terkait

Selasa, 19 Agustus 2025 - 17:11 WIB

Refleksi Hari Kemerdekaan Republik Indonesia Ke 80: Migas Sumenep, Siapa Diuntungkan?

Senin, 18 Agustus 2025 - 09:18 WIB

Komisi Informasi: Seleksi, dan Nyinyir yang Tak Pernah Usai

Rabu, 30 Juli 2025 - 16:42 WIB

Madura di Persimpangan Jalan: Menjadi Provinsi atau Tetap Bersama Jawa Timur?

Rabu, 30 Juli 2025 - 14:36 WIB

Dana yang Menguap pada Hukum yang Mengendap: Drama Panjang BSPS

Sabtu, 12 Juli 2025 - 12:10 WIB

DPRD Bukan Lembaga Wisata, APBD Bukan Tiket Pelesiran

Berita Terbaru

You cannot copy content of this page