SUMENEP – Di balik gemerlap pembangunan yang digembar-gemborkan lewat dana Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) DPRD Kabupaten Sumenep, tersimpan polemik yang kini menyeruak ke permukaan.
Dana aspirasi yang sejatinya menjadi sarana menyerap kebutuhan rakyat, justru disorot sebagai ladang subur praktik transaksional oleh sejumlah elite.
Sorotan tajam datang dari organisasi pengawas anggaran, Dear Jatim, yang menyebut bahwa mekanisme pengusulan Pokir saat ini tidak lagi berorientasi pada partisipasi publik, tetapi malah terjebak dalam lingkar kepentingan pribadi dan politik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pokir bukan brankas proyek titipan. Tapi saat ini banyak yang menyulapnya menjadi ladang kepentingan pribadi dan politik. Ini berbahaya bagi demokrasi dan tata kelola anggaran daerah,” tegas Ali Rofiq, Wakil Ketua Dear Jatim Koordinator Daerah (Korda) Sumenep, Jumat (1/8).
Pokir, sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, semestinya menjadi ruang legal bagi DPRD untuk menyampaikan aspirasi masyarakat hasil reses agar terintegrasi dalam perencanaan pembangunan.
Namun, dalam praktiknya, Ali menilai terjadi penyimpangan serius—mulai dari ketidaksesuaian antara usulan DPRD dan OPD, lemahnya kontrol pengadaan, hingga transaksi terselubung.
Lebih jauh, dugaan penyimpangan ini tak lagi sebatas wacana. Kasusnya kini ditangani Unit Tipikor Polres Sumenep, yang dilaporkan telah memeriksa puluhan kepala desa serta beberapa saksi terkait proyek-proyek Pokir tahun anggaran 2022.
Ali mengungkapkan bahwa skema proyek Pokir cenderung dipecah ke dalam paket-paket kecil dengan jumlah besar. Praktik ini, menurutnya, memudahkan rekayasa tender, pembagian fee proyek, hingga pengondisian pemenang lelang.
“Kalau proyek sudah dikondisikan, lalu OPD hanya dijadikan stempel formal, maka fungsi pengawasan DPRD lumpuh. Bahkan bisa berubah menjadi aktor utama pelanggaran,” tambahnya.
Atas kondisi tersebut, Dear Jatim mendesak agar aparat penegak hukum tidak hanya berhenti pada permukaan kasus, tetapi benar-benar membuka siapa aktor di balik praktik ini ke ruang publik.
Lebih dari itu, mereka meminta DPRD dan Pemkab Sumenep mereformasi tata kelola Pokir, agar kembali menjadi alat perjuangan rakyat—bukan komoditas dagang elite politik.