*Oleh: Rifki Hidayat, (Kord. Wilayah Banbaru AMG).
KOLOM – Hidup sebagai anak kepulauan sering kali merasakan dua rasa yang saling bertolak belakang: bahagia dan gelisah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di satu sisi, ada sebuah kebahagiaan yang lahir dari kedekatan kita dengan alam. Laut biru menjadi halaman rumah, suara ombak menjadi musik pengantar tidur, udara segar yang jarang ditemui di perkotaan menjadi teman sehari-hari.
Kehidupan yang begitu sederhana dengan ikatan sosial yang kuat antar warga menumbuhkan rasa memiliki yang begitu hangat.
Anak pulau belajar sejak kecil tentang kemandirian, keteguhan, dan bagaimana mensyukuri setiap pemberian alam, mulai dari ikan yang ditangkap oleh para nelayan di laut, hingga hasil panen jagung yang dinikmati bersama keluarga. Kebahagiaan seperti itu tumbuh dari kedekatan dengan akar budaya dan tradisi yang masih terjaga.
Namun, di sisi lain, ada sebuah kegelisahan yang tak pernah benar-benar hilang. Akses pendidikan di kepulauan seringkali menghadapi tantangan seperti kondisi geografis yang sulit dijangkau, kurangnya infrastruktur yang memadai, dan keterbatasan akses terhadap teknologi dan guru berkualitas, kesehatan di kepulauan sangat minim, kurangnya peralatan medis, terutama dokter spesialis, ini menjadi masalah serius di daerah kepulauan, sehingga hal ini sering menjadi bayang-bayang masa depan anak kepulauan dan masyarakat.
Banyak anak kepulauan yang harus berlayar jauh hanya untuk bersekolah lebih tinggi atau mendapatkan perawatan medis, Pekerjaan dikepulauan yang begitu terbatas juga mendorong sebagian generasi muda untuk meninggalkan pulau, menimbulkan rasa kehilangan dan kekhawatiran akan terkikisnya identitas lokal.
Selain itu, ancaman perubahan iklim dan kerusakan ekosistem laut membuat masa depan mereka semakin tidak pasti.
Maka, hidup sebagai anak kepulauan ibaratkan berdiri di persimpangan, di satu sisi bahagia karena hidup dikelilingi keindahan dan kedamaian, di sisi lain gelisah karena harus menghadapi keterbatasan dan ketidakpastian.
Bahagia dan gelisah itu bukanlah pertentangan, melainkan warna yang membentuk keutuhan hidup mereka.
Barangkali dari persinggungan dua rasa inilah lahir kekuatan anak kepulauan untuk terus bertahan, bermimpi, dan berjuang sampai darah penghabisan.