*Oleh : Ahmad Farhan Saukani (Mahasiswa aktif Ilmu Politik, Kepala Biro Keilmuan, Departemen Kajian Strategi HIMAPOL UIN Jakarta dan Sekretaris Jenderal Paradigma)
KOLOM – Pemerintah kayaknya lagi ngigo deh, soalnya hari Kamis tanggal 11 September 2025 kemarin, tiba-tiba mereka buat kebijakan kirim smart TV atau interactive flat panel (IFP) ke 330 ribu sekolah sampai akhir tahun.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Niatnya sih biar tiap sekolah menunjang model pembelajaran jarak jauh, supaya tenaga pengajar bisa menjangkau sekolah-sekolah terpencil. Ini alasannya serius atau bercanda sih? Tebakan saya sih, mereka ngigo belum bangun tidur.
Jenis smart TV yang dikirim adalah model 75WM61FE dengan layar 75 inchi dan menggunakan sistem Android 13 dengan kapasitas memori 16 gigabyte (GB) merk Hisense.
TV ini membutuhkan tegangan listrik 100-240 volt, dan sudah terintegrasi dengan akun Merdeka Mengajar (Tempo.co).
Sebuah ironi yang sangat menggelitik di saat banyak sekolah-sekolah yang minim akses listrik namun diberikan TV dengan tegangan listrik sebesar itu.
Satu unit smart TV ini dibandrol senilai 26 Juta! Sebuah angka yang membuat kita tertawa di tengah pemangkasan anggaran.
Lagipula, mana ada sih orang sadar yang membeli TV seharga 26 Juta sebanyak 330 ribu unit tanpa hitungan? Ya itulah pemerintah kita, selalu tidak smart dalam mengambil kebijakan.
Smart TV ini dianggap pemerintah sebagai solusi, supaya guru atau tenaga pengajar yang kompeten bisa menjangkau seluruh siswa di Indonesia, khususnya di daerah terpencil.
Ya berarti kan sektor pendidikan lebih butuh tenaga pendidik yang kompeten, daripada unit smart TV?! Kayaknya sekelas anak SMP pun akan memberikan jawaban yang lebih memuaskan dari ini.
Saat membaca cara pemerintah mengeluarkan kebijakan, sepertinya mereka memang suka sekali proyek-proyek dandy dan necis tanpa perhitungan, walaupun sebenarnya nggak penting-penting amat, bahkan tidak berguna sama sekali.
Cara-cara seperti inilah yang akhirnya membuat rakyat heran dan merasa tidak dianggap dalam proses pengambilan kebijakan.
Jika pemerintah menyanggupi satu unit smart TV senilai 26 juta disebar tiap satu sekolah, maka pemerintah punya anggaran untuk pendidikan.
Hanya saja, niat untuk mensejahterakannya yang nihil. Tidak apa-apa Guru dan Murid nya nggak smart, yang penting TV nya smart.
Kebijakan ini membuat saya bertanya “memangnya pemerintah nggak punya penasihat kebijakan dan prosedur evaluasi ya?” karena banyak sekali urgensi dan prioritas yang dilangkahi pemerintah ketika mengeluarkan keputusan ini.
Di Desa Eeya, terdapat SDN 2 Terpencil Eeya, Kecamatan Palasa, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
SDN ini belum teraliri listrik, dan hanya terdapat tiga ruang kelas yang harus cukup untuk menampung enam rombongan belajar (kompas.id).
Pertanyaannya, bagaimana sekolah seperti ini dapat menggunakan smart TV?! SDN Terpencil Eeya hanya satu dari 8.522 sekolah yang belum teraliri listrik, dan satu dari 42.159 sekolah yang belum bisa mengakses internet, menurut catatan Data Dapodik 2020 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (ombudsman.go.id).
Banyak guru honorer masih bergaji rendah, antara Rp 300.000 hingga Rp 1,5 juta per tiga bulan, jauh di bawah upah minimum.
Terhalang oleh proses birokrasi yang rumit dan nggak jelas, tanpa tahu kapan akan mendapatkan kepastian dan kesejahteraan (kompas.id).
Saya pikir pemerintah sedang bercanda. Mereka meledek guru dan meledek kemanusiaan, bahwa banyak guru dan tenaga pengajar yang tidak diperlakukan secara tidak manusiawi.
Wajar jika guru dan tenaga pengajar akan sakit hati mendengar kebijakan ini. Perlakuan sewenang-wenang pemerintah kepada tenaga pengajar ini membuat kualitas guru memburuk.
Karena hasil mengajar pasti tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) mencerminkan masalah sistemik dalam ekosistem pendidikan nasional yang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Mayoritas guru di tingkat dasar dan menengah hanya memiliki gelar sarjana (S1) tanpa spesialisasi mendalam di bidang yang mereka ajarkan (kumparan.com).
Anehnya, kebijakan pengadaan smart TV dilakukan di tengah mendesaknya kebutuhan pendidikan berkualitas yakni tenaga pengajar lulusan yang memiliki keterampilan relevan, literasi tinggi, dan mampu bersaing secara global.
Namun pertanyaannya, lulusan kompeten mana yang mau merelakan dirinya menjadi guru di Indonesia yang jauh dari kata sejahtera?! Pekerjaan rumah kita banyak, namun pemerintah masih saja ngigo.
Ini semakin membuktikan kalau pemerintah tidak menseriusi persoalan pendidikan.
Sia-sia saya belajar ilmu politik, belajar kebijakan publik, negara saja tidak menggunakan ilmu dalam mengeluarkan kebijakan. Gampang buat kita ngeliat kalau pemerintah seringkali tidak melakukan kajian dalam mengeluarkan kebijakan.