MALANG – Program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang akan diluncurkan pemerintah secara nasional pada 12 Juli 2025 menuai kritik dari kalangan aktivis mahasiswa, Minggu (20/7).
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang menilai, program ini belum menyentuh akar persoalan perekonomian desa dan berisiko menimbulkan persoalan baru.
Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025, pemerintah menargetkan pembentukan 80.000 unit koperasi dengan anggaran Rp3 miliar per koperasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Program ini diklaim mampu menciptakan dua juta lapangan kerja, menekan jeratan pinjaman online dan rentenir, serta menghasilkan keuntungan hingga Rp1 miliar per tahun.
Namun, Ketua Umum HMI Cabang Malang, Mirdan, meminta pemerintah mengkaji ulang efektivitas program tersebut terhadap kehidupan ekonomi masyarakat desa.
“Kita ketahui bersama bahwa dari zaman kolonial sampai pada era sekarang, desa hanya sebagai bentuk komponen negara yang sering kali diabaikan. Sehingga, sekiranya perlu kita sama-sama melihat, desa sebagai lokomotor pembaharu jika pemerintahan desa menggunakan tugas dan dwi fungsi mereka sesuai dengan aturan main yang berlaku. Pemerintah perlu mengkaji ulang, apakah hadirnya koperasi desa ini dapat memberikan dampak positif atau sebaliknya,” ungkap Mirdan.
BUMDes Lebih Luas, Koperasi Terbatas Simpan Pinjam
Sementara itu, Zul Fahmi Fikar, Ketua Bidang Pembangunan dan Pemberdayaan Desa HMI Cabang Malang, lebih tegas menyebut potensi penyalahgunaan dana dalam program ini.
“Koperasi Merah Putih belum tentu bisa menstabilkan perekonomian yang ada di desa atau kelurahan. Dengan biaya sebesar Rp3–5 miliar, saya khawatir koperasi ini justru menjadi ladang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),” ungkap Fikar.
Ia menambahkan, dibanding Koperasi Merah Putih, BUMDes memiliki cakupan usaha yang lebih luas dan menyentuh langsung kebutuhan masyarakat desa.
“Kita ketahui bersama bahwa di luar daripada pemerintahan desa ada yang namanya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes dan Koperasi Merah Putih sama-sama bertujuan mendorong perekonomian desa. Namun, BUMDes berperan lebih luas sebagai katalisator ekonomi, sedangkan Koperasi Merah Putih hanya bergerak di bidang simpan pinjam. Padahal, banyak BUMDes yang belum berjalan optimal. Jika BUMDes saja belum efektif, harapan terhadap Koperasi Merah Putih pun patut dipertanyakan,” jelas Fikar.
Desa Butuh Alat Produksi, Bukan Pinjaman
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa kebutuhan utama masyarakat desa saat ini bukanlah pada pinjaman uang, melainkan pada dukungan sarana produksi dan infrastruktur ekonomi.
“Desa memiliki potensi besar di sektor pertanian dan wisata. Namun, Koperasi Desa dinilai belum mewakili kebutuhan nyata masyarakat. Petani membutuhkan pupuk dan pestisida berkualitas, sedangkan nelayan memerlukan alat tangkap yang memadai agar pendapatan meningkat. Hal-hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah pusat, daerah, dan desa,” pungkasnya.