*Oleh: Agiel lambda (Ketua BidangPu HMI Cabang Bangkalan).
KOLOM – Madura hari ini ibarat berada di persimpangan jalan. Satu jalur mengarah pada kemajuan, industrialisasi, dan keterbukaan global sementara jalur lainnya membawa kembali pada akar tradisi, budaya lokal, dan resistensi terhadap perubahan yang terlalu cepat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di tengah dua tarikan ini, Madura dituntut untuk menentukan arah bukan sekadar soal kebijakan, tapi juga identitas dan jati diri sebagai pulau dengan sejarah panjang, karakter kuat, dan peran penting dalam sejarah bangsa
Di tengah arus desentralisasi dan tuntutan keadilan pembangunan, muncul kembali wacana lama yang tak pernah benar-benar mati: pembentukan Provinsi Madura.
Sebagian tokoh masyarakat, aktivis daerah, hingga politisi lokal menyuarakan bahwa sudah saatnya Madura berdiri sebagai provinsi sendiri, lepas dari bayang-bayang dominasi pembangunan Jawa Timur.
Namun, jalan menuju itu bukan sekadar soal administratif. Ia menyimpan pertanyaan mendasar: apakah pemekaran ini solusi, atau justru potensi masalah baru?
Ketimpangan dan Identitas!
Mereka yang mendukung pemekaran Provinsi Madura umumnya mengangkat isu klasik ketimpangan pembangunan. Meski empat kabupaten Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep) telah lama menjadi bagian dari Jawa Timur, kontribusinya dalam sejarah, budaya, hingga kekuatan politik belum sebanding dengan perhatian dan alokasi pembangunan dari provinsi induk.
Sebagai contoh, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Madura masih berada di bawah rata-rata Jawa Timur. Angka kemiskinan relatif tinggi, dan banyak infrastruktur dasar yang tertinggal. Bagi sebagian masyarakat, ini cukup menjadi alasan untuk mengatakan. “Sudah saatnya Madura berdiri sendiri.”
Di sisi lain, pembentukan provinsi juga dipandang sebagai cara memperkuat identitas dan harga diri masyarakat Madura. Sebuah provinsi akan memberi ruang lebih besar bagi representasi politik orang Madura di level nasional, serta memungkinkan lahirnya kebijakan yang lebih sesuai dengan karakter dan kebutuhan lokal.
Namun, Apakah Kita Siap?
Di balik semangat dan idealisme pemekaran, ada pertanyaan penting yang harus dijawab dengan jujur: apakah Madura benar-benar siap menjadi provinsi sendiri?
Persyaratan administratif menurut UU Pemda bukan hal sepele. Harus ada ibukota provinsi, lembaga pemerintahan baru, infrastruktur birokrasi, dan tentunya kesiapan fiskal. Dengan PAD yang masih rendah dan ketergantungan pada dana pusat yang tinggi, pemekaran justru berisiko menciptakan beban baru, bukan solusi.
Belum lagi masalah politisasi. Pemekaran wilayah sering kali dimanfaatkan oleh elit-elit lokal untuk mengukuhkan kekuasaan, bukan untuk memberdayakan rakyat. Dalam kondisi seperti ini, yang terjadi bisa jadi hanya perubahan simbolik , kantor gubernur baru namun rakyat kecil tetap terpinggirkan.
Tetap Bersama Jawa Timur, Tapi dengan Syarat!
Bagi kelompok yang kontra, Madura tak perlu menjadi provinsi baru untuk berkembang. Yang dibutuhkan adalah komitmen serius dari Pemprov Jawa Timur untuk mendorong pembangunan yang adil dan inklusif. Otonomi khusus, skema afirmasi anggaran, atau pembentukan Badan Pengelola Kawasan Madura bisa menjadi jalan tengah.
Dengan tetap berada dalam naungan Jawa Timur, Madura bisa tetap mendapatkan manfaat skala ekonomi dan sinergi regional, sambil memperkuat posisinya sebagai kawasan prioritas pembangunan.
Jalan Mana yang Akan Diambil?
Madura benar-benar berada di persimpangan jalan. Di satu sisi ada semangat untuk bangkit, berdiri sendiri, dan menentukan masa depan tanpa ketergantungan. Di sisi lain, ada kebutuhan untuk berpikir rasional, realistis, dan bertanya: apakah itu benar-benar jalan terbaik?
Pemekaran bukan satu-satunya jawaban. Yang lebih penting dari itu adalah keadilan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan keberanian politik untuk memperjuangkan kepentingan Madura secara strategis, entah dari dalam provinsi Jawa Timur maupun sebagai provinsi baru.
Apapun jalannya, satu hal yang pasti Madura harus menjadi tuan di negerinya sendiri.