AGENDA EKONOMI SETELAH KRISIS

- Publisher

Senin, 1 September 2025 - 19:25 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Suroto

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES),CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang

Sejak era kemerdekaan hingga hari ini, kita kerap terjebak dalam lingkaran krisis ekonomi dan upaya penyelesaian-nya seolah berulang dengan pola yang sama. Tidak ada perubahan fundamental dan selalu khianati ekonomi konstitusi, demokrasi ekonomi. Setiap kali badai krisis lewat, alih-alih menjadi momentum perbaikan struktur ekonomi, arah kebijakan justru kembali dikuasai oleh segelintir elite kapitalis.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Krisis 1998 adalah contoh paling gamblang. Dulu, rakyat menaruh harapan besar bahwa tumbangnya rezim otoriter akan membuka jalan bagi demokratisasi ekonomi. Namun kenyataannya, yang terjadi justru liberalisasi besar-besaran.

Konglomerat yang semestinya bertanggung jawab atas krisis malah diselamatkan dengan skema restrukturisasi dengan dana talangan (bailout) berupa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang justru jadi beban negara karena dikorupsi dan dibawa lari keluar negeri.

BUMN strategis dilepas melalui privatisasi yang jatuh dikuasai para kapitalis. Sementara usaha rakyat dibiarkan berjuang sendiri di tengah badai. Hanya segelintir elite yang bangkit, sementara mayoritas rakyat makin terpinggirkan. Kekuatan elite kapitalis yang berkongkalilong dengan elite kaya semakin perkuat konsentrasi kekayaan dan politik sekaligus.

Sepuluh tahun berselang, krisis keuangan global 2008 kembali mengguncang. Lagi-lagi, stabilitas ekonomi didefinisikan sebagai stabilitas bagi pemilik modal besar, bukan bagi rakyat kecil. Bank dan korporasi raksasa dijaga dengan segala cara, sementara Usaha Mikro dan Kecil serta koperasi tak pernah benar-benar masuk dalam radar kebijakan. Bahkan dalam krisis pandemi COVID-19, insentif fiskal dan moneter lebih banyak digelontorkan kepada perusahaan besar. Rakyat kecil, petani, pedagang, dan buruh, yang justru paling terpukul, dibiarkan mencari jalan sendiri.

Data memperlihatkan angka ketimpangan sosial ekonomi yang semakin tinggi. Menurut laporan Oxfam (2024), satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai hampir separuh total pendapatan nasional. Empat keluarga terkaya kekayaannya setara dengan 100 juta penduduk dari yang termiskin.

Saat ini, faktanya ruang fiskal negara kian tersedot untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang. Beban itu tidak pernah ditanggung oleh elite pemilik modal, melainkan oleh rakyat lewat pemangkasan subsidi, kenaikan pajak, dan pengurangan belanja sosial.

Di sisi lain, ketergantungan pada impor pangan memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi ekonomi kita. Tahun 2024, Indonesia mengimpor 4,52 juta ton beras, sementara ekspornya hanya 520 ton. Negeri agraris yang semestinya berdaulat pangan justru bergantung pada pasar global. Skema impor ini jelas menguntungkan korporasi besar yang menguasai rantai distribusi, sementara petani terus hidup dalam ketidakpastian.

Jika kita tarik benang merah dari rangkaian peristiwa itu, terlihat jelas sebuah pola yang sama. Setiap kali krisis datang, beban selalu jatuh ke pundak rakyat, sementara keuntungan tetap dinikmati oleh elite kapitalis. Paska krisis, bukan terjadi pembalikan arah menuju demokrasi ekonomi sebagaimana amanat konstitusi, melainkan justru semakin terkonsentrasinya kekuasaan ekonomi pada segelintir orang. Rakyat hanya menjadi penonton yang dipaksa menanggung beban, sementara panggung dan hasilnya dikuasai elite.

Baca Juga :  Benny Hutapea Bicara Sejarah Budidaya Sarang Burung Walet di Indonesia 

Padahal, konstitusi kita telah memberi arah yang jelas. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Ekonomi disusun bukan dibiarkan tersusun. John Rawls, filsuf keadilan katakan bahwa sistem yang adil mustinya disusun agar supaya menjadi adil.

Keadilan tidak lahir dari mekanisme pasar bebas, melainkan dari sistem yang secara sadar ditata untuk menjamin distribusi yang adil. Dengan kata lain, demokrasi ekonomi seharusnya menjadi tulang punggung sistem kita.

Situasi hari ini sebetulnya adalah buah dari pilihan politik ekonomi yang terus menerus berpihak pada kapitalisme. Sejak krisis 1998, negara tak pernah sungguh-sungguh mengoreksi haluan. Alih-alih memperkuat kemandirian ekonomi rakyat, kebijakan justru membuka pintu lebih lebar bagi penetrasi pasar bebas.

Ekonomi kita dibangun di atas fondasi rapuh. Angsuran utang dan bunganya harus dibayar dengan utang baru yang terus menumpuk. Impor pangan yang dikuasai mafia kartel dijadikan solusi instan. Orientasi ekspor pada komoditas ekstraktif yang sekaligus dorong penyerobotan tanah rakyat dianggap sebagai penopang ekonomi.

Semua ini memperlihatkan absennya visi jangka panjang untuk membangun kedaulatan ekonomi bangsa dan liberalisasi pasar dijadikan matra tunggal. Strategi pembangunan berbasis trickle down effect yang mengandalkan pertumbuhan dari segelintir elit kaya dengan harapan akan menetes ke bawah nyatanya gagal total. Justru yang menetes hanyalah krisis, kesenjangan, dan kebangkrutan moral maupun fiskal.

Agenda Demokratisasi Ekonomi

Model pembangunan yang dijalankan hingga saat ini masih tunduk pada logika sistem kapitalisme pinggiran. Di era Orde Baru, kita mengandalkan kapitalisme negara (state-led capitalism). Setelah reformasi, berubah menjadi kapitalisme pasar (market-led capitalism) dengan segala variannya. Dawam Rahardjo pernah menggambarkan kondisi ini dengan sangat tepat, jika sebelumnya negara berperan sebagai satpam bagi kapitalis, kini bahkan jatuh derajatnya hanya sebagai tukang bersih bersih toilet untuk bersihkan berak kapitalis.

Selama ini, rakyat juga terus dimanipulasi bahwa mereka hidup dalam sistem demokrasi, padahal hakikatnya hanya menjadi penonton di panggung kekuasaan yang dikendalikan segelintir orang. Sebabnya jelas, demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi adalah ilusi demokrasi.

Justru yang lahir dari sistem demokrasi tersebut bukanlah demokrasi yang sejati, melainkan plutogarki, rezim anti demokrasi yang merupakan hasil kawin silang antara oligarki dan plutokrasi, di mana kuasa terkonsentrasi di tangan elit kaya dan elit politik. Pola seperti ini menyebabkan bangsa ini tidak akan pernah keluar dari lingkaran krisis.

Selama struktur ekonomi tetap terkonsentrasi pada segelintir elite, selama rakyat hanya ditempatkan sebagai objek pembangunan, dan selama koperasi tetap diperlakukan sebagai anak tiri, maka demokrasi ekonomi hanya akan menjadi jargon kosong. Oleh karena itu, yang mendesak sekarang adalah keberanian politik untuk mengubah arah. Demokrasi ekonomi harus dikembalikan sebagai haluan utama.

Baca Juga :  Koperasi Merah Putih Resmi Dibentuk di Desa Duko, Rubaru: Dorong Ekonomi Warga Lewat Sektor Usaha dan Pertanian

Langkah pertama adalah memastikan semua warga negara terbebas dari ancaman kelaparan. Alokasi fiskal untuk pendapatan minimum warga negara ( universal basic income) harus menjadi prioritas APBN. Apa gunanya disebut warga negara bila di satu sisi segelintir orang hidup berkelimpahan, sementara di sisi lain ada rakyat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sepiring nasi?. Pajak yang dikumpulkan negara sejatinya adalah instrumen untuk memastikan hidup bersama yang adil.

Langkah berikutnya menyangkut nasib buruh. Selama ini mereka diperlakukan sekadar sebagai mesin produksi tanpa hak kepemilikan atas surplus yang mereka hasilkan. Padahal, keuntungan perusahaan lahir bukan hanya dari modal, melainkan juga dari keringat pekerja. Karena itu, program Employee Share Ownership Plan (ESOP) harus diterapkan secara serius. Buruh mesti memiliki minimal 20 persen saham perusahaan, dan porsinya ditingkatkan seiring waktu. Bahkan di Amerika Serikat yang kita sebut kapitalis, ESOP sudah berjalan sejak 1974. Tanpa kepemilikan, buruh tak akan pernah bisa ikut mengendalikan arah perusahaan.

Ketidakadilan juga tampak dari rasio gaji di perusahaan. Ada direktur utama yang digaji ribuan kali lipat dibanding karyawan terbawah. Rasio semacam ini tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga merusak moral kolektif bangsa. Karena itu, negara perlu mengatur pembatasan rasio gaji, maksimal 20 kali lipat. Prinsipnya sederhana: jika pemimpin ingin gaji besar, ia harus memastikan buruh dengan gaji terendah di perusahaannya ikut naik derajat.

Selain itu, kita perlu mengembalikan badan usaha milik negara (BUMN ) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ke dalam kendali rakyat. Saat ini ada dari 41 BUMN dengan ratusan anak dan cucu usaha dan ribuan BUMD. Namun, keberadaan mereka lebih banyak menjadi instrumen kekuasaan elit dibanding alat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 33 UUD 1945 jelas menyebut bahwa demokrasi ekonomi diwujudkan melalui koperasi. Karena itu, BUMN dan BUND harus dikoperasikan, atau setidaknya memberi ruang kepemilikan rakyat secara demokratis. Ironisnya, UU BUMN terbaru justru menyingkirkan koperasi, seolah hanya perseroan yang sah sebagai badan hukum bisnis. Hak kepemilikan rakyat yang merupakan hak per se yang melekat secara konstitusional juga diambil paksa oleh Pemerintah dari tangan kuasa absolut, daulat rakyat.

Agenda lain yang tak kalah penting adalah reforma agraria. Selama ini, program reforma agraria hanya dimaknai sebagai sertifikasi tanah. Alih-alih memperkuat rakyat, justru semakin mempermudah pengalihan tanah ke tangan pemodal besar. Reforma agraria sejati harus menyangkut tata kuasa dan tata kelola tanah, agar rakyat mengelola tanahnya secara kolektif dan koperatif. Tanah bukan komoditas, melainkan basis kehidupan.

Semua agenda tersebut perlu payung hukum yang kokoh. Karena itu, pembentukan UU Sistem Perekonomian Nasional adalah keharusan. UU ini akan menjadi induk bagi seluruh peraturan ekonomi agar selaras dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Ironisnya, sejak amandemen UUD tahun 2003, undang-undang ini tak pernah dibahas, sementara pemerintah justru melahirkan banyak UU Omnibus Law yang lebih berpihak pada modal besar seperti misalnya UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Omnibus Law Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan dan lain lain.

Baca Juga :  Bitcoin Bertahan di Atas $83 Ribu, Ethereum Menguat Tipis di Tengah Tekanan Pasar

Tak kalah genting adalah mengembalikan kedaulatan moneter. Pemisahan Bank Indonesia dari pemerintah pasca amandemen membuat lembaga ini kehilangan peran strategis dalam mendukung kesejahteraan rakyat. BI kini hanya berfungsi menjaga nilai rupiah, padahal di banyak negara, bank sentral juga memikul tanggung jawab atas penciptaan lapangan kerja. Tanpa kedaulatan moneter, kebijakan ekonomi akan terus tersandera kepentingan pasar global.

Kita juga harus berani menghentikan kebijakan berbasis paket input yang hanya berkutat pada soal akses kredit, subsidi, dan bantuan sosial. Model ini hanya melanggengkan ketergantungan dan tidak membangun kemandirian rakyat. Dibutuhkan penguatan kelembagaan ekonomi rakyat: koperasi, industri kecil, dan infrastruktur ekonomi yang berakar pada komunitas.

Utang luar negeri yang menggunung juga harus direstrukturisasi. Selama ini, utang digunakan hanya untuk membiayai infrastruktur fisik yang justru melayani kepentingan investor asing di sektor ekstraktif. Dampaknya adalah kerusakan lingkungan, perampasan tanah rakyat, dan semakin rapuhnya kedaulatan ekonomi.

Sebagai gantinya, pembangunan harus berfokus pada pangan dan energi sebagai basis kekuatan nasional. Kedaulatan pangan bukan sekadar soal perut, tetapi fondasi bagi kedaulatan politik. Demikian pula dengan energi: tanpa kemandirian energi, kita akan terus menjadi bulan-bulanan mafia pasar global.

Kebijakan substitusi impor harus dijalankan, khususnya untuk pangan dan barang jadi yang bisa diproduksi di dalam negeri. Selama ini, kita dijebak dalam permainan mafia impor yang menguras devisa dan menjerat petani. Substitusi impor dengan forkus naikkan import barang modal dan kurangi barang jadi bukan utopia, melainkan strategi realistis untuk memperkuat industri dalam negeri dan menyelamatkan devisa negara.

Selanjutnya, koperasi harus menjadi ekosistem utama demokrasi ekonomi. Koperasi bukan sekadar badan usaha alternatif, melainkan instrumen untuk mendistribusikan kepemilikan dan kendali ekonomi secara adil. Tanpa koperasi, demokrasi ekonomi hanya akan menjadi jargon.

Demokrasi ekonomi bukanlah konsep utopis. Banyak negara telah membuktikan bahwa dengan tempatkan rakyat sebagai subyek pembangunan dan dengan memperkuat koperasi dan usaha bersama, mereka mampu membangun fondasi ekonomi yang tangguh, adil, dan berkelanjutan. Di Indonesia, ini bukan hanya pilihan, melainkan mandat konstitusi yang harus dijalankan.

Agenda demokratisasi ekonomi bukan sekadar untuk mewujudkan keadilan sosial sebagaimana amanat konstitusi, tetapi juga untuk menjaga stabilitas politik dan keberlanjutan ekologi. Demokrasi ekonomi akan melahirkan kedaulatan, kemandirian, dan keberlanjutan. Tanpa itu, kita hanya akan terus terjebak dalam lingkaran utang, ketergantungan impor, dan krisis multidimensi.

Jakarta, 1 Septermber 2025

Follow WhatsApp Channel timesin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Kopassus Lantik Pejabat Utama dan gelar acara Tradisi Korps Perwira
Ribuan Buruh di PHK Akibat 11 Perusahaan Kena Suspend/Penangguhan Ekspor Sarang Walet ke China
Benny Hutapea Bicara Sejarah Budidaya Sarang Burung Walet di Indonesia 
Kirab Mobil Dihari Kemerdekaan, Ketua Umum P4TM Perjuangkan Petani Tembakau Madura
LSM GMPM Bangun Sinergi Dengan Bea dan Cukai Dalam Produksi Rokok di Madura
Mahasiswa KKN UIN Madura Bantu UMKM Desa Bunder Naik Kelas
Mahasiswa KKN UM Gelar Workshop Menjahit dan Shibori di Desa Genengwaru
Jan Maringka Paparkan Kedaulatan Pangan dan Peran Strategis KBPP Polri dalam wujudkan Ketahanan Nasional

Berita Terkait

Senin, 1 September 2025 - 19:30 WIB

Kopassus Lantik Pejabat Utama dan gelar acara Tradisi Korps Perwira

Senin, 1 September 2025 - 19:25 WIB

AGENDA EKONOMI SETELAH KRISIS

Kamis, 28 Agustus 2025 - 18:20 WIB

Ribuan Buruh di PHK Akibat 11 Perusahaan Kena Suspend/Penangguhan Ekspor Sarang Walet ke China

Rabu, 20 Agustus 2025 - 13:28 WIB

Benny Hutapea Bicara Sejarah Budidaya Sarang Burung Walet di Indonesia 

Minggu, 17 Agustus 2025 - 14:28 WIB

Kirab Mobil Dihari Kemerdekaan, Ketua Umum P4TM Perjuangkan Petani Tembakau Madura

Berita Terbaru

Ekonomi

AGENDA EKONOMI SETELAH KRISIS

Senin, 1 Sep 2025 - 19:25 WIB

You cannot copy content of this page