SUMENEP – Skandal dugaan pemerasan yang terjadi dalam razia Satpol-PP di Desa Beluk Ares, Kabupaten Sumenep, memasuki babak baru, Rabu (2/7).
Dua sosok penting yakni Ketua DPRD Sumenep H. Zainal Arifin dan Kepala Desa Beluk Ares M. Salehodin, kini resmi terseret dalam penyidikan aparat penegak hukum.
Kasus ini telah naik ke tahap penyidikan, yang ditandai dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Sumenep kepada Kejaksaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dokumen tersebut tercatat dengan Nomor: 8/175/VI/RES.1.19/2025/Satreskrim, mengacu pada Laporan Polisi Nomor: LP/B/280/VI/2025/SPKT/POLRES SUMENEP/POLDA JAWA TIMUR.
Dugaan pemerasan ini terungkap setelah korban tiga orang mucikari yang ditangkap dalam razia Satpol-PP pada September 2024 lalu buka suara.
Tiga mucikari tersebut mengaku dimintai uang sebesar Rp10 juta agar tidak diproses secara hukum. Salah satu dari mereka bahkan menyatakan telah menyerahkan uang sebesar Rp6 juta secara langsung di hadapan Kepala Desa.
Yang mengagetkan, Ketua DPRD Sumenep disebut hadir langsung dalam razia tersebut. Kehadiran unsur legislatif dalam tindakan eksekutorial Satpol-PP ini menimbulkan polemik dan kritik tajam dari berbagai pihak, karena dinilai melampaui kewenangan dan berpotensi menyalahgunakan jabatan.
“Ini bukan sekadar pelanggaran etika. Ini potensi kejahatan oleh pejabat negara yang memanfaatkan kekuasaan untuk keuntungan pribadi,” tegas Moh. Ferdy Dwi Hadayat.
Aktivis Moh. Ferdy Dwi Hidayat menegaskan, jika terbukti, tindakan ini dapat dijerat dengan sejumlah pasal pidana serius, antara lain Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang pemerasan, dengan ancaman hukuman hingga 9 tahun penjara.
Di sisi lain, keduanya juga dapat dijerat Pasal 12 huruf e UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) dengan ancaman hingga 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.
Selain itu, kehadiran Kepala Desa Beluk Ares saat transaksi dugaan pemerasan berlangsung membuka potensi jeratan tambahan Pasal 55 dan 56 KUHP, tentang turut serta atau membantu terjadinya tindak pidana.
“Jika Kepala Desa mengetahui dan membiarkan pemerasan itu terjadi, maka ia bisa dimintai pertanggungjawaban pidana,” tambah Ferdy.
Isu pengembalian uang selama proses penyelidikan tidak otomatis menghapus unsur pidana. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006; Yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
“Hukum tetap harus ditegakkan. Pengembalian uang tidak bisa menghentikan proses pidana. Itu hanya faktor yang dipertimbangkan di pengadilan, bukan pembenar perbuatan,” tegas Ferdy.
Keprihatinan dan sorotan utama mereka berfokus pada RSUD dr. H. Moh. Anwar dan 30 Puskesmas…
Ketua Dear Jatim Korda Sumenep, Mahbub Junaidi, menilai bahwa penggerebekan tersebut sarat pelanggaran hukum acara…
Ia menjelaskan, laporan awal dikirim warga melalui pesan langsung (Direct Message/DM) ke akun resmi Sabhara.…
Kapolres Sumenep, AKBP Rivanda, S.I.K., yang bertindak sebagai inspektur upacara menegaskan pentingnya keterlibatan semua elemen…
SURABAYA – Grand Final merupakan Ajang bergengsi bertajuk “ Show Your Talent" Support by Vitalong…
Melalui surat terbuka yang dirilis secara resmi, LBH Taretan menekankan pentingnya profesionalisme, akuntabilitas, dan keterbukaan…
This website uses cookies.