*Oleh: Valdis, (Pengamat Birokrasi Kecamatan Ra’as).
(Studi Kasus Desa Kropoh, Kecamatan Ra’as, Sumenep)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
KOLOM – Pemerintah Kabupaten Sumenep patut diacungi jempol atas program mulia penyaluran Tunjangan Kehormatan bagi 1.225 guru ngaji di 27 kecamatan.
Bantuan sebesar Rp1.200.000 per guru ngaji yang disalurkan melalui rekening BPRS Bhakti Sumekar pada November 2025, lengkap dengan perlindungan BPJS Ketenagakerjaan, adalah bentuk apresiasi yang sangat berarti.
Ini merupakan pengakuan atas peran strategis mereka dalam membina akhlak dan karakter generasi muda di tengah tantangan zaman.
Namun, di balik kabar baik ini terselip sebuah narasi yang membingungkan dan menimbulkan tanda tanya besar, terutama menyangkut proses pencairan dan kerahasiaan data para penerima.
Sejumlah guru ngaji, termasuk beberapa yang enggan disebutkan namanya asal Desa Kropoh, menghadapi kendala berbelit saat hendak mencairkan tunjangan tersebut di Kantor BPRS Brakas Ra’as Sumenep pada 20–21 November 2025.
Pihak bank sempat menghimbau para guru ngaji untuk mengurus Surat Keterangan Hilang (SKH) ke Polsek kecamatan karena tidak membawa buku tabungan. Proses ini kemudian berlanjut dengan permintaan surat pengantar dari aparat desa.
Untungnya, setelah melalui kerumitan birokrasi tersebut, tunjangan sebesar Rp1.200.000 berhasil dicairkan (dengan sisa saldo Rp50.000). Namun, di sinilah kejanggalan serius muncul.
Tepat pada hari Selasa setelah pencairan, beredar kabar bahwa seorang aparat Desa Kropoh berinisial S mengembalikan sejumlah buku tabungan yang ternyata sudah dimiliki oleh para guru ngaji sejak tahun 2019 atau 2020.
Ini menimbulkan pertanyaan paling fundamental: mengapa buku tabungan—yang merupakan hak milik pribadi dan dokumen penting berisi data keuangan—bisa berada di tangan aparat desa?.
Lebih jauh lagi, penulis mendapati bahwa beberapa buku tabungan yang seharusnya dipegang oleh guru ngaji ternyata mencatat adanya transaksi atau uang masuk pada tahun-tahun sebelumnya, bahkan pada 2020 dan 2022. Bukti pada lembar tabungan memperlihatkan adanya saldo dan riwayat kredit/debet.
Jika buku tabungan tidak dipegang oleh pemiliknya, lalu kemudian dikembalikan, siapa yang bertanggung jawab atas uang yang telah masuk dan keluar pada tabungan tersebut di tahun-tahun sebelumnya? Ini bukan hanya persoalan buku tabungan yang nyasar.
Insiden ini menyeret dua isu krusial yang harus disikapi serius oleh BPRS Bhakti Sumekar dan aparat Desa Kropoh, khususnya terkait:
1. Hak Milik dan Akses Dana:
Tabungan adalah properti pribadi. Kepemilikan buku tabungan oleh pihak ketiga—apalagi aparat desa—tanpa izin eksplisit pemilik adalah pelanggaran terhadap hak perdata.
2. Kerahasiaan Data (PIN):
Prosedur pencairan dana di bank mengharuskan adanya PIN (Personal Identification Number) yang sifatnya sangat rahasia.
Jika dana dapat dicairkan atau diakses oleh pihak selain guru ngaji, muncul pertanyaan mengerikan: bagaimana kerahasiaan PIN mereka bisa dibobol atau bahkan diketahui oleh orang lain, entah itu oknum bank atau oknum aparat desa?.
Bukankah PIN adalah benteng terakhir perlindungan dana nasabah? Jika rahasia ini sampai terkuak, berarti ada kebocoran atau penyalahgunaan serius dalam sistem yang melibatkan data nasabah BPRS Bhakti Sumekar, atau dalam proses distribusi buku tabungan di tingkat desa.
Kami mendesak Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudho, untuk segera mengusut tuntas masalah ini.
Program apresiasi yang mulia ini tidak boleh tercoreng oleh dugaan praktik yang mengabaikan hak dan kerahasiaan data para guru ngaji.
Pemerintah harus memastikan bahwa tidak ada satu pun guru ngaji yang dirugikan, dan mereka harus mendapatkan kembali hak milik penuh atas buku tabungan beserta saldo di dalamnya.
Masalah ini harus diurai secara terang: siapa yang memegang buku tabungan? Siapa yang tahu PIN-nya? Dan yang terpenting, siapa yang mengambil uang yang tercatat di tabungan guru ngaji sebelum mereka mencairkan Tunjangan Kehormatan 2025?












