BATU – Kongres Paguyuban Insan Jurnalis Pamekasan (PIJP) yang digelar di Jalan Abdul Gani Atas, Ngaglik, Kota Batu, Senin (8/12), berakhir anticlimax.
Alih-alih menjadi momentum demokrasi internal dan penyegaran kepengurusan, agenda yang digadang-gadang sebagai “Kongres Besar” itu justru tumbang sebelum dimulai, Rabu (10/12).
Penyebabnya, struktur akta notaris tidak boleh disentuh dan tetap harus berada di bawah komando Sujak Lukman.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, anggota PIJP sejak awal mendorong kongres sebagai ruang rotasi kepemimpinan: ketua dipilih ulang, sekretaris ditata kembali, bendahara diperbarui, dan roda organisasi berjalan sehat.
Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Para anggota justru dibuat seolah tidak memiliki ruang berbicara, apalagi hak menentukan masa depan organisasi.
Tidak hanya, juga terjadi perdebatan secara administrasi, peserta raker juga mendesak bagaimana tidak ada Ketua harian dalam organisasi PIJP, dalam artian cukup Ketua Umum saja.
Namun hal itu tidak disetujui oleh para pendiri, sehingga kembali terjadi perdebatan panas.
Forum sudah mulai tidak kondusif, perdebatan semakin panas, akhirnya panitia mengambil langkah untuk menutup dan memberhentikan rapat pembahasan SK Notaris, AD/ART dan Tata Tertib.
Muhri Andika selaku panitia menjelaskan bahwa pihaknya memutuskan untuk membekukan sementara PIJP dan membubarkan rapat, karena pembahasan sudah mulai tidak tertib dan seakan lebih mengedepankan ego.
“Saya memutuskan untuk membekukan sementara dan menghentikan rapat, karena saya lihat bukan musyawarah lagi yang dikedepankan melainkan ego, dan baik para pendiri atau pengurus lainnya. Khususnya daram perombakan SK Notaris yang kita bahas,” tegasnya.
Sejumlah anggota bahkan mempertanyakan:
“Ini organisasi wartawan atau rumah pribadi? Kok kami seakan cuma tamu?”
Kekecewaan ini mencuat lantaran setiap wacana perubahan struktur langsung terbentur tembok kokoh bernama “akta notaris yang tidak boleh diubah”. Alhasil, kongres yang seharusnya menjadi momen demokratis justru jadi tontonan macetnya regenerasi.
Namun fakta di lapangan jauh berbeda. Posisi sekretaris tidak pernah diganti meski yang bersangkutan telah wafat, sementara bendahara yang berjalan bukan nama yang tercantum dalam akta, melainkan Sumailah, sosok yang tidak tercatat secara legal dalam struktur resmi.
Kondisi ini semakin menegaskan dugaan anggota bahwa PIJP berjalan tanpa transparansi, tanpa evaluasi, dan tanpa regenerasi.
Selain itu, Muhri Andika mengatakan kegagalan kongres ini tidak hanya memicu amarah internal, tetapi juga mencoreng wajah organisasi di hadapan publik. Bagaimana organisasi jurnalis yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi, justru tersandung oleh minimnya demokrasi di tubuhnya sendiri
“Kongres yang semestinya melahirkan pemimpin baru, justru memunculkan pertanyaan besar: Apakah PIJP masih menjadi organisasi wartawan, atau telah menjelma menjadi kendaraan kepentingan segelintir orang,” pungkasnya.












