SUMENEP – Janji penanganan bencana alam berupa tanah longsor di Dusun Artakoh, Desa Payudan Daleman, Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep, hingga kini belum juga terealisasi, Senin (13/10).
Kendati sebelumnya, sejumlah pihak telah mendatangi dan meninjau lokasi, termasuk Wakil Bupati Sumenep KH. Imam Hasyim, warga mengaku belum melihat adanya langkah nyata di lapangan.
Peristiwa longsor itu terjadi pada Senin dini hari, 16 Juni 2025, sekitar pukul 01.00 WIB, setelah hujan deras mengguyur wilayah tersebut sejak Minggu sore. Suara gemuruh terdengar jelas di tengah malam sebelum material tanah menimbun jalan utama yang menghubungkan Desa Montorna, Bajur, dan Batuampar.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut warga setempat, longsor kali ini tergolong parah dan memutus akses utama antar desa. Longsong tersebut sempat menimbulkan kepanikan, sebab lokasi tepat di belakang pemukiman warga
“Kami langsung keluar rumah setelah mendengar suara gemuruh. Tanah dari tebing belakang rumah tiba-tiba ambruk,” ujar A. Rifa’i, warga Dusun Artakoh.
Pemerintah Desa Payudan Daleman bersama BPBD Sumenep dan sejumlah relawan telah meninjau lokasi. Namun, penanganan terhenti lantaran kondisi longsoran dinilai terlalu berat untuk dieksekusi secara manual.
BPBD pun melaporkan kepada pihak atasannya bahwa dibutuhkan alat berat untuk menyingkirkan material tanah yang menutup badan jalan. Meski begitu, hingga lebih dari sebulan berlalu, alat berat yang dijanjikan tak kunjung datang.
Sebelumnya, Kepala Desa Payuda Daleman, Sasi Purwati Ningsih, menyebut sudah mengajukan bantuan darurat kepada pemerintah kabupaten. Namun, tindak lanjut masih sebatas janji.
Sementara itu, Wakil Bupati Sumenep, KH. Imam Hasyim, yang sempat turun langsung ke lokasi, berjanji akan segera menindaklanjuti bencana tersebut dan membangun TPT (Tembok Penahan Tanah) agar longsor tidak terulang.
Sayangnya, janji itu kini justru menjadi bahan tanya masyarakat. Hingga kini, tak ada tanda-tanda pengerjaan ataupun alat berat yang dikirim ke lokasi.
Kekecewaan warga pun semakin memuncak. Mereka menilai pemerintah lamban dan hanya menjadikan laporan longsor sebagai formalitas.
“Masyarakat berharap dalam 1–2 hari ini ada tindak lanjut dari pihak yang berwenang, tidak hanya cuma sebagai bahan pembuatan laporan yang ujung-ujungnya gotong-royong masyarakat. Karena tebing yang longsor ini bukan cuma 1–2 kali yang longsor, sudah keempat kalinya. Masyarakat sudah angkat tangan dalam membersihkan material tanah yang longsor tersebut,” ujar A. Rifa’i menegaskan.
Warga kini hidup dalam kekhawatiran. Potensi longsor susulan masih tinggi, sementara langkah mitigasi dari pemerintah belum terlihat.
Padahal, jalur tersebut merupakan akses vital perekonomian antar desa di wilayah Guluk-Guluk. Jika dibiarkan berlarut, dampaknya bukan hanya pada mobilitas warga, tetapi juga perekonomian lokal yang mulai lumpuh.