Oleh : Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
Timesin.id, Jakarta – Di tengah sorotan publik terhadap tingginya gaji direksi dan komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kita perlu menempatkan perdebatan ini dalam kerangka yang lebih besar. Apakah tata kelola perusahaan negara kita sejalan dengan cita-cita demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945? ataukah tersandera logika kapitalisme korporasi yang menjauhkan para pemimpin BUMN dari denyut rakyat yang mereka layani?
Mari kita mulai dari fakta. Berdasarkan laporan tahunan PT Telkom Indonesia Tbk, total remunerasi untuk jajaran direksi pada 2023 mencapai Rp154,18 miliar, sementara dewan komisaris menerima sekitar Rp103,14 miliar. Jika dibagi rata, seorang direksi Telkom bisa mengantongi sekitar Rp12 miliar setahun, atau Rp1 miliar per bulan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bandingkan dengan UMR rata-rata nasional 2024 yang hanya sekitar Rp3 juta per bulan, atau Rp36 juta setahun. Artinya, satu direksi Telkom menerima gaji sekitar 333 kali lipat dari pekerja dengan UMR nasional. Bahkan jika dibandingkan dengan UMR DKI Jakarta sebesar Rp5,06 juta per bulan (Rp60,7 juta setahun), rasio itu tetap sekitar 200 kali lipat.
Rasio ini sungguh mencolok. Di negeri yang mengaku berlandaskan Pancasila dan gotong royong, kesenjangan antara pucuk pimpinan BUMN dengan pekerja lapis bawah ternyata lebih ekstrem dibandingkan banyak korporasi kapitalis di dunia.
Apalagi, mekanisme pemberian insentif atau tantiem direksi memungkinkan tetap cair meski perusahaan tidak mencatatkan laba, sepanjang ada “perbaikan kinerja” menurut indikator tertentu. Logika ini mungkin sesuai paradigma manajemen modern berbasis balanced scorecard, tetapi dalam pandangan rakyat jelata, ia terasa sebagai bentuk bonus tanpa akuntabilitas. Di sini terlihat jurang antara legitimasi legal-formal dan legitimasi moral di mata publik.
BUMN kita hari ini tampak lebih mirip perusahaan kapitalis biasa ketimbang badan usaha berlandaskan semangat kerakyatan. Direksi diperlakukan seperti CEO perusahaan multinasional, dengan remunerasi selangit dan fasilitas istimewa. Sementara para pekerja di level bawah masih berkutat dengan upah minimum, kontrak outsourcing, dan beban kerja berat.
Dalam dokumen tata kelola BUMN, ada patokan bahwa gaji direktur lain 85 persen dari direktur utama, dan honorarium komisaris utama sekitar 45 persen dari gaji direktur utama. Sekilas terkesan proporsional, tapi sesungguhnya hanya mengatur harmoni di lingkaran elite manajemen. Tidak ada keterhubungan dengan realitas pekerja di lapisan terbawah. Rasio gaji antara pucuk pimpinan dengan pegawai rendahan bisa berlipat ratusan kali. Itulah wajah kapitalisme, segelintir menikmati surplus, mayoritas hanya menerima sisa.
Padahal, BUMN bukan perusahaan biasa. Ia dibangun dengan modal negara, yakni uang rakyat, dan mengemban mandat pelayanan publik. Oleh karena itu, ukuran keberhasilan direksi seharusnya tidak hanya laba dan dividen, tetapi juga keterjangkauan harga, kualitas layanan, serta keberpihakan pada kelompok rentan. Di titik inilah persoalan gaji direksi bukan sekadar teknis manajerial, melainkan persoalan politik ekonomi.
Pelajaran dari Mondragon
Sebagai perbandingan, mari kita tengok Mondragon Corporation di Spanyol, jaringan koperasi pekerja terbesar di dunia yang jumlah karyawanya 80 ribuan orang. Sejak awal berdiri, Mondragon menerapkan kebijakan rasio gaji maksimal.
Aturannya sederhana, gaji tertinggi tidak boleh lebih dari enam kali gaji terendah. Dalam kasus tertentu, bisa diperluas hingga sembilan kali, tetapi prinsip dasarnya tetap sama, jarak penghasilan tidak boleh menciptakan jurang sosial. Kebijakan one to six policy ini sangat dijaga terus oleh seluruh pekerjanya.
Kebijakan ini bukan romantisme. Justru ia terbukti menjadi fondasi kokoh bagi daya tahan Mondragon selama puluhan tahun. Ketika salah satu jaringanya Fagor bangkrut pada 2013, para anggota berbagi beban. Ada yang direlokasi ke unit lain, ada yang rela pemotongan gaji, dan ada yang mendapatkan pelatihan ulang. Inilah solidaritas nyata, bukan jargon.
Bandingkan dengan BUMN kita. Saat perusahaan merugi, pekerja bawahlah yang sering jadi korban lewat efisiensi, PHK, atau kontrak yang tak diperpanjang. Sementara di level atas, insentif masih bisa mengalir dengan alasan perbaikan kinerja.
Mondragon membuktikan bahwa tata kelola dengan prinsip kesetaraan dan pengelolaan demokratis justru menciptakan kohesi sosial dan produktivitas tinggi. Tidak ada jurang terlalu lebar antara pekerja dan manajemen. Para pemimpin tidak hidup di menara gading, melainkan tetap berada dalam lingkar solidaritas yang sama. Itulah makna demokrasi ekonomi yang sesungguhnya.
Demokrasi Ekonomi
UUD 1945 Pasal 33 dengan tegas menyatakan bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, BUMN sebagai instrumen negara tidak boleh dikelola dengan semangat kapitalisme semata, melainkan harus tunduk pada prinsip keadilan sosial. BUMN tidak boleh memelintir leher rakyat, karena rakyat punya hak per se yang melekat dan dijamin Kontsitusi.
Demokrasi ekonomi yang kita cita-citakan bukanlah sistem yang membiarkan segelintir elite direksi dan komisaris hidup mewah sementara para pekerja bergelut dengan upah minimum. Demokrasi ekonomi adalah sistem yang membatasi kesenjangan internal agar nilai gotong royong hidup dalam praktik sehari-hari.
Pancasila, dengan sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, menuntut agar setiap rupiah yang dihasilkan BUMN didistribusikan dengan adil. Kepemimpinan dalam Pancasila bukanlah lisensi untuk memperkaya diri, melainkan amanah untuk mengelola kekayaan rakyat dengan penuh tanggung jawab. Prinsip pengelolaan berkedilan BUMN bertujuan untuk perkaya masyarakat bukan segelintir orang. Seorang direksi BUMN seharusnya merasa terikat oleh kontrak moral ini, bukan semata kontrak hukum.
Reformasi Remunerasi
Apa yang bisa dilakukan? Pertama, tetapkan standar rasio upah di BUMN, misalnya 1:10. Dengan begitu, jarak gaji pucuk pimpinan tidak akan melebar tak terkendali. Langkah ini bukan berarti mematikan insentif bagi kepemimpinan, melainkan menempatkan kewajaran sebagai pagar.
Kedua, wajibkan transparansi rasio gaji dalam laporan tahunan. Publik berhak tahu berapa kali lipat gaji direksi dibanding median gaji karyawan. Bukan hanya total remunerasi direksi dan komisaris. Transparansi adalah syarat pertama kepercayaan.
Ketiga, revisi mekanisme insentif. Tantiem direksi harus berbasis pada kinerja pelayanan publik, bukan hanya laba. Misalnya: cakupan layanan ke wilayah terpencil, efisiensi tarif, tingkat kepuasan konsumen, hingga kontribusi pada pengurangan emisi. Jika indikator sosial ini tidak tercapai, insentif harus ditangguhkan atau dipangkas.
Keempat, alokasikan sebagian insentif direksi untuk dana kolektif yang langsung meningkatkan kesejahteraan pekerja, peningkatan kapasitas SDM, dan inovasi. Keberhasilan direksi bukan hanya milik pribadi, tetapi juga milik bersama.
Kelima, ubah pola pikir pemerintah sebagai pemegang saham. BUMN bukan sekadar korporasi; ia adalah instrumen kedaulatan ekonomi. Karena itu, standar keadilan harus lebih utama daripada standar benchmark gaji CEO multinasional.
Pertarungan wacana soal gaji direksi BUMN sejatinya adalah pertarungan ideologi. Kita memilih jalan kapitalisme yang mengagungkan segelintir elite manajerial, atau jalan demokrasi ekonomi yang menempatkan kesejahteraan kolektif di atas segalanya.
Mondragon sudah membuktikan bahwa keadilan upah bukan utopia. Ia bisa berjalan dalam praktik nyata, bertahan puluhan tahun, dan tetap kompetitif. Indonesia seharusnya berani mengambil pelajaran itu.
Gaji direksi BUMN adalah soal politik, bukan sekadar teknis. Jika kita sungguh-sungguh ingin mewujudkan demokrasi ekonomi dan keadilan sosial, saatnya membatasi keserakahan di puncak piramida. Hapuskan ekonomi serakahisme, agar BUMN kembali menjadi milik rakyat, bukan milik segelintir elite yang hidup nyaman di atas penderitaan banyak orang.***