Aroma retak kongsi antar PDIP-PKB Sumenep kian terlihat jelas.
SUMENEP – Aroma retaknya kongsi politik antara PDIP dan PKB di DPRD Sumenep makin menyengat. Konflik internal yang semula dianggap hanya beda pendapat teknis, kini tampak membesar dan mengarah ke pertarungan pengaruh antara Komisi III dan Ketua DPRD, Zainal Arifin.
Pemicunya berlapis. Dimulai dari surat rekomendasi Komisi III soal penindakan tambang galian C ilegal yang tak kunjung diteruskan ke APH oleh Ketua DPRD. Dilanjutkan pembentukan posko aduan kasus BSPS yang dibuka Komisi III tanpa koordinasi dengan pimpinan dewan.
Pusat sorotan pun mengerucut pada dua figur: Zainal Arifin, politisi PDIP sekaligus Ketua DPRD, dan Akhmadi Yasid, Wakil Ketua Komisi III dari PKB yang selama ini dikenal vokal dan berani membongkar dugaan permainan kotor di balik program bantuan pemerintah.
“Sudah jelas itu produk resmi Komisi III. Tapi kenapa malah ditahan dan tidak ditindaklanjuti? Jangan sampai ada kepentingan politik atau perlindungan terhadap oknum,” tegas Akhmadi saat dikonfirmasi wartawan.
Ketua DPRD, Zainal Arifin, berkali-kali mengklarifikasi bahwa dirinya hanya ingin mencari jalan tengah—termasuk memberi ruang kepada pelaku tambang ilegal untuk mengurus izin.
Namun pernyataan “tidak tega” kepada pemilik tambang malah dinilai Akhmadi sebagai bentuk pembiaran dan sikap tidak tegas.
Di kasus BSPS, tensi kembali meninggi. Zainal menyebut pembukaan posko aduan oleh Komisi III tak melalui mekanisme resmi. Bahkan sempat mempertanyakan kewenangan Komisi dalam menindak program APBN.
Akhmadi kembali angkat suara, menyebut sikap Ketua Dewan sebagai upaya mengerdilkan peran kontrol DPRD terhadap pelaksanaan anggaran pusat di daerah.
“Kalau semua harus diam dan tunggu aba-aba dari ketua dewan, lalu buat apa ada Komisi?” sergahnya.
Menariknya, dari internal PKB sendiri, beberapa politisinya juga mulai mengkritisi arah kebijakan pemerintahan Fauzi–Imam yang notabene satu partai dengan Zainal.
Salah satunya M. Muhri, Ketua Komisi III DPRD Sumenep dari PKB, mengkritik langkah efisiensi anggaran oleh Pemkab Sumenep yang dilakukan tanpa komunikasi dengan legislatif. Ia menegaskan bahwa DPRD memiliki fungsi budgeting dalam APBD dan tidak bisa dipinggirkan begitu saja.
“Itu keputusan sepihak. Harusnya dibahas bersama DPRD, karena kami punya fungsi anggaran,” tegas Muhri kepada media.
Pengamat dan pemerhati politik lokal mulai mencium gelagat tak sehat dari dinamika ini. “PDIP dan PKB selama ini satu koalisi dalam pimpinan dewan. Tapi fakta di lapangan, tampak ada tarik-menarik kepentingan, bahkan bisa dibilang ‘pecah kongsi’,” ujar Anwar.
Jika konflik ini tak segera diredam, tak menutup kemungkinan akan memengaruhi stabilitas internal DPRD menjelang pembahasan APBD-Perubahan 2025 mendatang—dan bisa menjadi sinyal awal keretakan koalisi besar di Pilkada Sumenep yang akan datang.
Jaringan Kawal Jawa Timur menilai KPK lamban dan cenderung tebang pilih. Dalam aksi demonstrasi di…
Buntut adanya dugaan carut marutnya pengelolaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) sebagaimana…
Peringatan Hari Bhayangkara ke-79 di Lapangan Pancasila Kota Salatiga berlangsung dengan penuh khidmat dan kebersamaan.…
Dalam unggahan mereka yang bernada reflektif dan menggugah, kelompok ini menyoroti bagaimana kampus hari ini…
Zainurrozi, pengadu yang juga menyasar para pejabat tinggi bank plat merah milik Kabupaten Sumenep tersebut,…
Keprihatinan dan sorotan utama mereka berfokus pada RSUD dr. H. Moh. Anwar dan 30 Puskesmas…
This website uses cookies.