Timesin.id, Pangkalpinang – Gelombang kekecewaan masyarakat Kota Pangkalpinang kian menyeruak pasca aksi demonstrasi yang berakhir ricuh di kantor pusat PT Timah Tbk, Senin (6/10/2025).
Aksi yang semula diklaim sebagai bentuk penyampaian aspirasi damai oleh *Aliansi Tambang Rakyat Bersatu (ATB)* dan **Aliansi Masyarakat Terzolimi (Almaster) Babel* itu justru berubah menjadi anarkis.
Oknum massa dilaporkan merusak pagar, menghancurkan ruang lobi dan ruang kerja karyawan, hingga merusak pot bunga dan taman hias yang mempercantik jalan utama kawasan kota Pangkalpinang. Tentu tindakan itu memicu kemarahan publik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Melalui *Aliansi Pemuda Pangkalpinang (APP)*, masyarakat menyuarakan desakan agar kepolisian, terutama *Kapolda Kepulauan Bangka Belitung*, segera bertindak tegas terhadap para pelaku perusakan.
> “Kami, Aliansi Pemuda PKP, mewakili masyarakat Pangkalpinang meminta polisi mengusut tuntas perusakan fasilitas umum yang dilakukan oknum massa anarkis kemarin. Menyampaikan aspirasi boleh, tapi tidak dengan cara merusak,” tegas **Salman Ahda Ferdian**, Ketua APP, kepada wartawan jejaring media KBO, Selasa (7/10/2025).
Salman menilai, aksi brutal tersebut bukan hanya melanggar norma sosial, tetapi juga *bertentangan dengan hukum positif* yang berlaku di Indonesia.
Menurutnya, tindakan itu dapat dijerat dengan *Pasal 406 KUHP*, yang menyebut:
> “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Lebih jauh, jika perbuatan dilakukan secara bersama-sama di muka umum hingga menimbulkan kerusuhan, pelaku juga bisa dikenakan *Pasal 170 KUHP* dengan ancaman hukuman penjara hingga *lima tahun enam bulan*.
> “Koordinator aksi kemarin berjanji akan damai. Tapi kenyataannya, pot bunga dan tamanan hias kota rusak, fasilitas kantor hancur. Kami menuntut pertanggungjawaban dan ganti rugi atas semua kerusakan itu,” tegas Salman yang akrab disapa Caul.
Aliansi Pemuda Pangkalpinang menilai, membiarkan tindakan anarkis tanpa penegakan hukum akan menjadi *preseden buruk bagi demokrasi lokal*.
Padahal, hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum telah diatur dalam **Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998**, yang pada Pasal 6 menegaskan kewajiban menghormati hak-hak orang lain, menjaga ketertiban umum, dan menaati hukum.
Dengan demikian, tindakan perusakan dalam konteks demonstrasi jelas telah melampaui batas kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
> “Kalau ini dibiarkan, jangan heran bila aksi-aksi serupa akan terulang. Kami mendukung polisi menegakkan hukum tanpa pandang bulu,” tutup Salman.
Aksi unjuk rasa seharusnya menjadi wujud kedewasaan berdemokrasi, tempat masyarakat menyalurkan aspirasi dengan tertib dan santun.
Namun ketika demonstrasi berubah menjadi ajang kekerasan dan perusakan, maka substansinya bergeser dari perjuangan aspiratif menjadi pelanggaran hukum yang mencederai nilai demokrasi itu sendiri.
Kini, publik menunggu langkah tegas aparat penegak hukum.
Apakah perusakan fasilitas publik dan kantor PT Timah hanya akan menjadi catatan kelam dalam sejarah demokrasi lokal, atau justru menjadi titik balik penegakan hukum yang memberi pelajaran penting: bahwa *kebebasan berekspresi tidak boleh menabrak aturan dan akal sehat.* (Dwi Frasetio/KBO Babel)