MALANG – Nama Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa ramai dibicarakan sejak ia diperiksa sebagai saksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari APBD Jawa Timur 2019-2022.
Namanya kembali mencuat pasca demontrasi besar-besaran di Kabupaten Pati dan pasca demontrasi besar-besaran yang melanda banyak daerah di Indonesia sejak akhir Agustus sampai awal September 2025.
Isunya tak main-main, sebagian kelompok mendengungkan Pemakzulan terhadap Gubernur Jawa Timur tersebut.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Riset dan Kebijakan Publik Eskalasi Strategic Research and Consulting, Haidar Ali M menanggapi isu Pemakzulan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Menurutnya, sulit untuk memakzulkan Gubernur Jawa Timur.
“Sangat sulit untuk memakzulkan ibu Khofifah selaku Gubernur. Baik secara hukum ataupun secara politik,” kata pria yang akrab disapa Haidar selaku Direktur Riset dan Kebijakan Publik Eskalasi Strategic Research and Consulting.
Menurutnya, isu Pemakzulan terhadap Gubernur Jawa Timur perlu dikaji lebih dalam. Bagi Haidar, isu tersebut cukup serius namun secara substansi perlu ditegaskan dan dijelaskan.
“Menurut kami, kita harus adil. Kita harus menghargai suara siapapun. Itu dulu. Lalu, bicara kondisi dan situasi Jawa Timur apakah betul-betul baik-baik saja? Saya kira terlalu naif jika dikatakan sebuah pemerintahan tidak punya persoalan. Dalam hal ini Pemprov Jatim. Pun, apakah persoalan itu hanya bisa diselesaikan dengan cara Pemakzulan? Itu yang perlu ditegaskan dan dijelaskan oleh pengusung isu itu sendiri. Mengingat, isu Pemakzulan itu isu cukup serius dan sensitif,” kata Haidar Ali M, Selasa (09/09).
Baginya, pemerintah provinsi Jawa Timur memang mengalami beberapa persoalan. Baik dalam pembangunan makro atau mikro. Khususnya, tambah dia, disparitas atau kesenjangan sosial-ekonomi antar daerah kabupaten-kota di Jawa Timur.
“Boleh jadi ini bisa kita sebut sebagai pekerjaan rumah yang kebetulan belum diselesaikan di periode pertama kemarin, boleh jadi ini bisa kita sebut sebagai kegagalan dalam menyelesaikannya di periode pertama. Ini kan periode kedua. Artinya tergantung dari sudut pandang yang dipakai,” ungkapnya.
Dalam kajian dan penelitian Eskalasi Strategic Research and Consulting, Haidar mengungkapkan ada ungkapan perbandingan dari masyarakat antara Gubernur Khofifah dengan Gubernur dari daerah lain.
“Menurut penelitian kami, khususnya di kehidupan maya, memang ada sebuah fenomena bahwa ibu Khofifah dibandingkan dengan kepala daerah yang lain. Misalnya dengan Gubernur Jawa Barat, KDM, atau dengan Gubernur Maluku Utara, Sherly Laos yang hari ini cukup famous di media sosial,” jelasnya.
“Nada perbandingan itu variatif, ada yg positif ada juga yang negatif. Misalnya soal perbedaan kebijakan tentang pajak kendaraan yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur dan Jawa Barat. Ada kecemburuan sosial masyarakat Jawa Timur kepada masyarakat Jawa Barat. Simpelnya begitu,” tambah dia.
Ia melanjutkan, mengoreksi pemerintahan diperbolehkan. Bahkan, lanjut dia, hal tersebut bagian keseimbangan.
“Penting sekali (mengoreksi jalannya pemerintahan) itu. Dalam konteks ini, Jawa Timur, ibu Khofifah sebagai Gubernur dan mas Emil sebagai Wagub. Kami kira, dua orang ini bukan tangan besi. Karenanya wajib dikoreksi dari awal sampai nanti akhir periode,” papar dia.
Kendati demikian, Haidar selaku Direktur Riset dan Kebijakan Publik Eskalasi Strategic Research and Consulting menemukan sebuah anomali politik terkait isu Pemakzulan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.
“Anomalinya begini. Secara politik, jika ibu Khofifah dianggap gagal sebagai Gubernur dan karena itu dia harus dikoreksi dengan cara dimakzulkan, menurut kami itu keliru. Jika memang ingin mengoreksi Khofifah, harusnya dikoreksi pada saat Pilkada kemarin. Itu momen yang paling tepat untuk mengoreksi dia. Faktanya Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak terpilih kembali untuk periode kedua,” tuturnya.
Hal tersebut, menurut Haidar, menjadikan isu Pemakzulan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, tidak mempunyai kekuatan politik yang cukup.
“Terpilihnya kembali Khofifah-Emil itu mematahkan isu Pemakzulan itu sendiri. Maksud kami, secara politik belum bisa diukur dan dihitung secara detail siapa saja sebenarnya yang ingin memakzulkan Khofifah. Apakah suara itu berasal dari mayoritas rakyat Jawa Timur? Menurut kami itu perlu ditegaskan. Minimal sebagai perbandingan politik. Karena lagi-lagi terpilihnya kembali Khofifah-Emil itu fakta yang sulit dibantah bahwa kedua orang itu masih disukai dan dikehendaki mayoritas rakyat Jatim,” jelasnya.
Di akhir, dirinya mengingatkan bahwa pemerintahan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa dan Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak baru berjalan satu tahun. Fakta tersebut, menurut Haidar, dapat mempersulit isu Pemakzulan Gubernur Jawa Timur.
“Gubernur dan Wagub wajib selalu dikoreksi, bahkan sampai akhir periode. Namun yang perlu kita semua ingat adalah pemerintahan Khofifah-Emil ini baru satu tahun berjalan. Maksud kami periode kedua. Terlalu dini rasanya mengukur tingkat keberhasilannya hari ini, apalagi langsung dihukumi gagal. Hemat kami, dan menurut kami, memakzulkan Khofifah sebagai Gubernur itu selain sulit, terlalu dini, juga Irasional,” pungkasnya.