Sejumlah warga yang sedang melakukan istghasah. (Foto: Doc. TimesIN).
SUMENEP – Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di kawasan Guluk-Guluk dan Desa Ketawang Laok, Kabupaten Sumenep, Madura, menuai penolakan keras dari masyarakat setempat, Minggu (4/5).
Penolakan ini disuarakan oleh para masyayikh, kiai, guru, pemilik lahan, dan warga dalam wadah Dewan Persatuan Kiai-Santri dan Rakyat (DEWAN PAKAR) Sumenep.
Menurut pernyataan yang diterima redaksi, masyarakat tidak menolak energi terbarukan, tetapi menolak lokasi pembangunan PLTS yang dinilai mengancam keberlangsungan lingkungan hidup dan kehidupan warga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lokasi proyek yang direncanakan merupakan kawasan hutan dan lahan hijau yang selama ini berfungsi sebagai “paru-paru” wilayah Guluk-Guluk bagian timur. Wilayah tersebut menjadi penopang utama ekosistem lokal sekaligus pelindung sumber daya air bagi masyarakat sekitar.
Warga menilai, pembangunan PLTS yang berpotensi melibatkan penebangan pohon secara besar-besaran akan berdampak buruk, seperti:
Kerusakan zona hijau dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Penurunan daya serap air tanah yang selama ini mencegah banjir.
Hilangnya mata air yang menjadi sumber kehidupan warga.
Ancaman kekeringan jangka panjang, termasuk untuk pondok pesantren dan lahan pertanian.
Selain aspek ekologis, warga juga menyoroti aspek etis dan keberlanjutan. Lahan yang direncanakan sebagai lokasi proyek merupakan lahan subur dan produktif, yang selama ini menopang pertanian warga.
“Secara etika lingkungan dan prinsip AMDAL, kawasan ini tidak layak dijadikan lokasi proyek industri energi,” ujar salah satu perwakilan tokoh masyarakat.
Mereka khawatir, pembangunan PLTS di lahan tersebut justru akan memperparah ketimpangan sosial dan mengancam sumber penghidupan warga secara jangka panjang.
Dalam pernyataan tertulis, warga menegaskan:
“Kami menolak untuk menjual dan/atau menyewakan lahan milik kami kepada pihak PT PLN Indonesia Power. Kami menegaskan bahwa kami tidak menolak energi terbarukan, namun menolak lokasi yang salah, yang mengorbankan masa depan ekologi dan generasi penerus.”
Sebagai solusi, masyarakat mengusulkan bentuk transisi energi yang lebih adil dan berkelanjutan, antara lain:
Agrovoltaik di lahan non-produktif yang tidak mengganggu ekosistem.
PLTS atap dan mikrogrid komunitas yang memberdayakan warga secara langsung.
PLTS terapung di waduk atau badan air lain yang lebih sesuai secara ekologis.
Warga berharap pemerintah dan perusahaan terkait mendengarkan aspirasi masyarakat dan mempertimbangkan ulang lokasi pembangunan.
“Pembangunan energi seharusnya tidak mengorbankan sumber kehidupan rakyat. Harus ada dialog yang terbuka dan keadilan ekologis yang dijunjung,” tegas pernyataan tersebut.
Penolakan ini menjadi momentum penting untuk meninjau ulang pendekatan dalam transisi energi nasional, agar benar-benar berorientasi pada keberlanjutan dan keadilan sosial.
Jaringan Kawal Jawa Timur menilai KPK lamban dan cenderung tebang pilih. Dalam aksi demonstrasi di…
Buntut adanya dugaan carut marutnya pengelolaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) sebagaimana…
Peringatan Hari Bhayangkara ke-79 di Lapangan Pancasila Kota Salatiga berlangsung dengan penuh khidmat dan kebersamaan.…
Dalam unggahan mereka yang bernada reflektif dan menggugah, kelompok ini menyoroti bagaimana kampus hari ini…
Zainurrozi, pengadu yang juga menyasar para pejabat tinggi bank plat merah milik Kabupaten Sumenep tersebut,…
Keprihatinan dan sorotan utama mereka berfokus pada RSUD dr. H. Moh. Anwar dan 30 Puskesmas…
This website uses cookies.