Timesin.id, Jakarta – Sekali lagi sejarah memperlihatkan wajahnya: keretakan kepercayaan rakyat terhadap wakil mereka. Pada tahun 1998, bangsa ini bergolak karena suara rakyat tak lagi tersambung. Gedung DPR pusat pernah jadi simbol perlawanan, saat mahasiswa menuntut reformasi sejati. Waktu terus berjalan, namun bukan berarti luka itu tertutup.
Kini, di 2025, bara ketidakpercayaan itu kembali menyala—dengan aroma yang tak jauh berbeda. Rakyat sedang meringis karena hidup makin berat. Harga kebutuhan pokok melejit, inflasi membebani, dan pajak seperti tekanan tak terlihat yang menekan setiap harinya. Saat itu, tanpa jeda, kabar muncul tentang anggota DPR akan menerima tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan—nominal yang tajam kontras dengan realitas yang dihadapi rakyat—apalagi di tengah beban pajak mereka sendiri yang semakin menjerat.
Sementara rakyat berusaha menata harapan di tengah krisis ekonomi, wakilnya justru menyiapkan fasilitas mewah dengan dana publik. Alasan yang dikemukakan—bahwa tunjangan ini untuk sewa rumah selama lima tahun dan lebih efisien dibanding rumah dinas—tak mampu menenangkan kemarahan publik. Ketika kata-kata tak mampu meredam fakta, rakyat berbicara melalui aksi.
Di Pati, Jawa Tengah, aksi demo besar-besaran meletus setelah pemerintah daerah berencana menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 250 %, tanpa diskusi publik. Ribuan orang turun ke jalan, menuntut kebijakan itu dicabut dan bahkan meminta kepala daerah mundur. Gedung DPRD dan alun-alun kota menjadi pusat emosi yang memuncak. Unjuk rasa itu melibatkan hingga 100.000 peserta, menjadikan ini salah satu aksi terbesar dalam sejarah daerah tersebut.
Tak hanya di Pati, gelombang protes merembet ke Bone, Cirebon, Jombang—setiap daerah dengan kisahnya sendiri, tetapi benang merahnya sama: masyarakat menolak pajak ekstrem yang dijatuhkan tiba-tiba, tanpa mekanisme mendengarkan suara publik. Bahkan di Bone, kenaikan sektor PBB mencapai 300 %, sementara Cirebon dikabarkan hingga 1.000 %, sekadar pemicu kemarahan khalayak.
Di Kota Semarang, berbeda dari hiruk-pikuk kerusuhan, pemerintah daerah memilih menahan tarif dan memberikan diskon PBB, sekaligus merangkul warga—contoh menenangkan yang terasa kontras dengan yang terjadi di Pati dan sekitarnya.
Kemudian, di Jakarta dan Medan, emosi kembali meletup—demo buruh menuntut kenaikan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp 7,5 juta per bulan, agar upah mereka tidak tenggelam dalam potongan pajak. Di Medan, massa tak peduli dengan polisi yang membendung akses ke DPRD, mereka tetap menyuarakan tuntutan keadilan fiskal. Tak hanya buruh, para mahasiswa di Kalimantan Barat juga turun ke DPRD provinsi, menentang kenaikan tunjangan dewan, meskipun aksi itu memicu penangkapan.
Dan akhirnya, puncak dari bara yang lama terpendam itu meledak di Makassar. Ribuan massa yang marah membanjiri Gedung DPRD Sulawesi Selatan. Teriakan, lemparan batu, hingga baku dorong dengan aparat pecah sejak pagi. Hingga sore, situasi semakin tak terkendali. Api menyala, asap hitam membubung dari gedung perwakilan rakyat itu. Gedung DPRD yang seharusnya menjadi rumah aspirasi rakyat, justru menjadi obor kemarahan rakyat yang tak lagi bisa dibendung. Pembakaran itu bukan sekadar tindakan anarkis, tetapi simbol runtuhnya kepercayaan: rakyat merasa pintu dialog tertutup rapat, sehingga api menjadi bahasa terakhir mereka.
Semua ini menyulam sebuah gambaran: wakil rakyat kini tampak lebih sibuk memelihara fasilitas pribadi di atas derita rakyat yang harus membayar pajak, menahan biaya hidup, dan berjuang mempertahankan harapan. Gedung-gedung perwakilan—DPR, DPRD—yang dulu dianggap rumah rakyat, kini dilihat sebagai menara pemisah antara kekuasaan dan rakyat, simbol pengkhianatan legitimasi.
Runtuhnya kepercayaan bukan karena satu hal: itu hasil akumulasi ketidakadilan, dari tunjangan rumah Rp 50 juta yang mencolok, hingga pajak yang melangit tanpa prosedur partisipatif. Dan ketika wakil rakyat abai terhadap penderitaan rakyat, reaksi bisa muncul dalam wujud demo membara, pembakaran, hingga permintaan mundur secara massal.
Jika sejarah mengajar satu hal—ketika rangkap elit menutup mata, rakyat sejati akan mendobrak kesunyian dengan suara yang tak bisa diabaikan lagi. Kini, Indonesiaku sedang dilanda krisis kepercayaan. Lantas jika sudah begini kenyataan ini—lalu kemana lagi rakyat akan mengadu?
~ Itta R Hasibuan mantan aktivis 66