TimesIn, Kolom – Di desa-desa terpencil, kasus pewaris yang mewariskan barang kepada anaknya, tetapi barang tersebut justru masih dikuasai oleh pihak lain, bukanlah hal asing. Biasanya, pewaris memberikan barang kepada ahli warisnya sebelum meninggal dunia.
Namun, dalam kondisi tertentu, barang itu dipinjam oleh kerabat dengan alasan mendesak dan tidak dikembalikan bahkan setelah pewaris wafat. Fenomena ini memperlihatkan lemahnya kesadaran akan hak, etika, dan hukum mengenai warisan.
- Perspektif Islam
Islam telah mengatur hak waris secara jelas dalam Al-Qur’an dan Hadis. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 7:
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari peninggalan ibu-bapaknya, dan bagi perempuan ada hak bagian dari peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan (QS. An-Nisa: 7)
Hadis Nabi SAW juga menegaskan pentingnya menjaga hak waris dengan adil: “Berikanlah hak kepada pemiliknya sebelum kering keringatnya.” (HR. Abu Dawud).
- Perspektif Hukum
Tentu dalam kacamata hukum Indonesia, Pasal 833 KUHPerdata menegaskan bahwa ahli waris memperoleh hak milik sejak pewaris meninggal dunia. Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 dan seterusnya, hak waris menjadi sah berdasarkan syariat Islam, dan kepemilikan ahli waris harus dihormati.
Banyak yang menganggap warisan sebatas pembagian harta, padahal lebih dari itu, warisan adalah amanah dan tanggung jawab. Jika seseorang meminjam barang dari pewaris sebelum pewaris wafat, barang itu tetap menjadi hak ahli waris setelah pewaris meninggal. Sayangnya, pemahaman ini sering kali diabaikan oleh peminjam yang merasa berhak karena hubungan kekerabatan.
Belajar dari persoalan semacam ini justru memperlihatkan lemahnya literasi hukum dan etika di masyarakat kita. Kesadaran bahwa harta warisan adalah hak yang harus dikembalikan tidak tertanam kuat, sehingga terjadi pengabaian bahkan penggelapan yang tidak disadari. Di sinilah peran ulama, pemerintah desa, dan tokoh masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberikan edukasi.
Dalam Islam, tindakan menahan hak waris tanpa alasan yang sah tergolong sebagai perbuatan zalim. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Barang siapa yang mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak benar, maka ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan membawa dosa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari sisi hukum positif, ahli waris dapat mengajukan gugatan perdata untuk meminta kembali haknya. Termaktub dalam undang-undang KUHPerdata, yang memberikan ruang bagi ahli waris untuk menuntut pengembalian hak waris yang ditahan oleh pihak peminjam. Namun, solusi yang lebih ideal adalah penyelesaian melalui jalur kekeluargaan dengan melibatkan ulama atau tokoh masyarakat.
Kesadaran akan pentingnya menghormati hak waris harus ditanamkan melalui edukasi hukum dan nilai-nilai Islam. Jika tidak, warisan yang seharusnya menjadi keberkahan justru berubah menjadi sumber konflik yang berkepanjangan.
*) Penulis : Fahrur Rozi (Alumnus Pondok Pesantren Banyuanyar)