Kolom

Ketika Tabarruj Dianggap Biasa: Saatnya Kita Bertanya

KOLOM – Pernahkah kita merasa janggal saat melihat gaya berpakaian atau cara tampil seseorang di ruang publik yang begitu terbuka dan mencolok?.

Anehnya, rasa janggal itu makin lama makin memudar. Kita mulai terbiasa. Kita mulai memaklumi. Lalu tanpa sadar, kita menerimanya sebagai hal yang wajar. Tapi benarkah ini sesuatu yang biasa? Ataukah kita sedang dibentuk untuk membiasakan sesuatu yang sebenarnya tidak pantas?

Dalam Islam, fenomena ini disebut dengan istilah tabarruj. Bukan istilah baru. Bukan pula istilah asing dalam diskusi keagamaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tabarruj adalah sikap atau kebiasaan menampilkan daya tarik secara berlebihan di hadapan orang lain, terutama laki-laki yang bukan mahram.

Ia bisa muncul dalam bentuk pakaian yang ketat, riasan yang mencolok, wewangian yang kuat, atau bahkan sikap tubuh yang menggoda.

Intinya, tabarruj adalah ketika penampilan lebih ditujukan untuk dilihat dan dinikmati orang lain, bukan untuk menjaga diri.

Sayangnya, budaya tabarruj hari ini tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan. Justru sebaliknya. Ia dirayakan sebagai simbol keberanian, dianggap bagian dari ekspresi diri, dan dikemas sebagai kebebasan perempuan. Media sosial ikut menyuburkan tren ini.

Tayangan, iklan, hingga konten digital tak jarang menampilkan perempuan dengan gaya yang jauh dari nilai-nilai kesopanan yang diajarkan Islam. Dan yang lebih mengkhawatirkan, banyak dari kita menyaksikannya tanpa lagi merasa risih.

Dalam Tafsir al-Jāmi‘ li-Aḥkām al-Qur’ān, al-Qurṭubī menjelaskan bahwa larangan terhadap tabarruj bukan semata-mata aturan kaku. Ia adalah bentuk perlindungan terhadap kehormatan perempuan dan stabilitas masyarakat.

Ketika menafsirkan Surah al-Ahzab ayat 33, al-Qurṭubī mengingatkan bahwa perempuan diperintahkan untuk menjaga diri di rumah, bukan karena terkungkung, tetapi agar tidak terjebak dalam kebiasaan masyarakat jahiliah yang senang memamerkan kecantikan di depan umum.

Nilai-nilai ini menjadi penting untuk kita renungkan. Apakah saat ini kita masih menjunjung kesopanan sebagai bagian dari iman? Ataukah kita sudah terbawa arus budaya bebas yang menjauhkan kita dari akhlak Qurani? Jangan sampai kita membungkus penyimpangan dengan kata indah bernama kebebasan, padahal yang terjadi adalah hilangnya batas dan kendali.

Saatnya kita bertanya. Apakah kita masih peduli dengan batas-batas yang ditetapkan Allah? Ataukah kita telah memilih jalan yang nyaman tetapi mengabaikan nilai yang seharusnya kita jaga?.

Budaya tabarruj tidak boleh dinormalisasi. Ia bukan sekadar persoalan pakaian, tetapi cerminan dari sejauh mana kita menghargai kehormatan diri dan agama kita sendiri.

 

_________

Oleh: Ahmad Ainurroziq

Redaksi

Share
Published by
Redaksi

Recent Posts

Ilustrasi: Deskripsi Kaos Harkopnas Dekopin Ke-78 Th 2025:

Jakarta - Ilustrasi: Deskripsi Kaos Harkopnas Dekopin Ke-78 Th 2025 Warna dasar kaos: putih Model:…

7 jam ago

KOPERASI LAWAN TANDING KAPITALISME

KOPERASI LAWAN TANDING KAPITALISME Oleh: Iwan Mariono Saya baru saja mengkhatamkan buku yang judulnya diambil…

7 jam ago

Makna Maklumat 14 Pimpinan Silat Lamongan: Komitmen Budaya Damai

Komitmen ini menjadi penegasan bahwa pencak silat bukan sekadar bela diri, melainkan warisan nilai: kesabaran,…

9 jam ago

HMI Cabang Malang Tampilkan Wajah Baru Lewat LPP

Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Malang sukses menyelenggarakan Training Raya Nasional 2025 dengan format baru yang…

1 hari ago

Dua Anggota Polsek Guluk-Guluk Raih Kenaikan Pangkat di Hari Bhayangkara

Kapolsek Guluk-Guluk, AKP Akhmad Gandi, S.H., menyampaikan bahwa peringatan Hari Bhayangkara kali ini harus menjadi…

1 hari ago

Rp7 Triliun Dana Hibah Jatim Diduga Bocor, KPK Diminta Bertindak Tegas

Jaringan Kawal Jawa Timur menilai KPK lamban dan cenderung tebang pilih. Dalam aksi demonstrasi di…

1 hari ago

This website uses cookies.