*Oleh: Sulaisi Abdurrazaq, (Penasehat Hukum Korban)
KOLOM – Pada 3 September 2025, Detikone menurunkan berita yang menuding klien kami, Cerlang Gemintang (nama samaran), digerebek suaminya atas dugaan perzinahan. Faktanya, tidak pernah ada penggerebekan. Tuduhan itu hanyalah cerita fiktif yang dibungkus seolah fakta.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pers seharusnya melindungi korban. Tetapi Detikone justru menambah luka. Klien kami adalah korban KDRT, suaminya kini ditahan Kejaksaan Negeri Sumenep. Namun ia kembali dipermalukan dengan tuduhan yang tak pernah terjadi. Inilah bentuk kekerasan berlapis: tubuh disakiti, nama dicemari.
Lebih jauh, Detikone menayangkan foto atau video lama terhadap tubuh klien kami, tanpa izin, seolah-olah sebagai bukti. Tindakan ini bukan sekadar pelanggaran privasi, tetapi juga bentuk reviktimisasi, membuka luka lama demi sensasi. Foto atau video yang disalah gunakan pihak lain, lalu menjadi komoditi untuk dinikmati dan menjadi mainan detikone.
Dalam perspektif gender, perempuan adalah kelompok rentan. Pemberitaan yang sembrono mudah menjadikan perempuan kambing hitam. Padahal, Kode Etik Jurnalistik dengan jelas melarang identitas korban disebutkan. Pelanggaran ini menunjukkan rendahnya literasi hukum dan sensitivitas gender di tubuh Detikone.
Pers adalah pilar demokrasi. Ia bisa menjadi cahaya pencerah, atau cambuk yang melukai. Dalam kasus ini, Detikone gagal menjalankan peran mulia pers. Ia memilih menjadi corong fitnah daripada juru bicara kebenaran dengan etika jurnalistik.
Kami akan menempuh jalur hukum. Sebab kasus ini bukan hanya tentang klien, tetapi juga tentang masa depan pers Indonesia. Pers tanpa etika, hanyalah pengeras suara ketidakadilan dan alat penindasan terhadap kelompok rentan.






