Oleh: Akhmadi Yasid (Wartawan Senior, kini Mengabdi di Parlemen)
KOLOM – Saya tidak tahu siapa yang pertama kali menyebut istilah “Kasus BSPS”. Tapi kalau boleh jujur, istilah itu sekarang terdengar seperti nama penyakit. Bukan lagi nama program pemerintah.
Padahal dulunya ia lahir dari semangat mulia: bedah rumah untuk rakyat miskin. Tapi begitu masuk ke birokrasi, lalu melewati lorong gelap bernama “komitmen”, kini tersisa hanya reruntuhan niat baik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Perencanaan program yang seharusnya menjadi tahap paling rasional, sudah jadi ladang transaksional. Banyak desa sudah pegang SK. Sudah berharap. Sudah bersiap. Tapi entah kenapa digeser.
Ada desa yang dapat, lalu batal. Ada yang tidak masuk, tiba-tiba muncul. Kenapa? Karena uang “komitmen” mungkin belum jelas.
Begitulah. Begitu rusaknya program ini sejak dari perencanaan. Program belum berjalan, permainan sudah dimulai.
Begitu program turun, situasinya lebih kacau lagi. Pemotongan di lapangan tidak tanggung-tanggung. Ada yang tiga juta. Ada yang enam juta. Per orang. Bayangkan, dari total bantuan belasan juta untuk satu warga, separuhnya bisa raib ke mana-mana.
Tentu bukan cuma satu dua orang yang bermain. Dana ini mengalir deras seperti sungai banjir. Meluber. Menyebar. Menetes ke banyak kepala dan kantong. Oknum wartawan, LSM, pejabat, oknum dewan, bahkan oknum kepala desa pun disebut-sebut kecipratan.
Jangan salah. Ini bukan sekadar isu. Banyak pengakuan sudah terdengar. Tapi sayangnya, hukum kita bukan bekerja atas dasar “kata orang” atau “katanya dapat juga”. Hukum butuh alat bukti. Dan di sinilah masalahnya.
Karena itu saya tidak heran kalau penanganannya lambat. Penyidik pasti pontang-panting memilah siapa yang sekadar tahu, siapa yang ikut, siapa yang aktif meminta, dan siapa yang benar-benar mengatur.
Akhirnya, pola penyidikan yang terjadi biasanya klasik: cari yang paling banyak terima dan paling tampak perannya. Bisa jadi hanya sampai ke “korkab” (koordinator kabupaten). Bisa juga mentok di satu dua staf pelaksana.
Saya tidak ingin pesimis. Tapi kita sedang bicara soal hukum di negeri yang rumit. Di mana korupsi bisa dianggap biasa. Bahkan kadang dianggap “bagian dari mekanisme”. Jadi jangan terlalu berharap semuanya akan selesai tuntas.
Ada yang bilang sudah ada tersangka. Ada yang bilang belum. Ada yang bilang ditahan diam-diam. Ada yang bilang masih bebas wara-wiri.
Tapi faktanya jelas: baru sebatas penggeledahan dan pemeriksaan. Belum ada yang betul-betul diborgol, disorot kamera, dan atau ganti baju oranye di hadapan publik.
Saya bisa mengerti kenapa. Sebab ini bukan kasus recehan. Ini perkara besar. Bukan hanya besar nilainya. Tapi juga besar ruwetnya.
Bukan hanya menyangkut keterlibatan instansi besar. Tapi menyangkut, mungkin pembesar-pembesar. Mungkin juga mereka yang perutnya besar. Alamakkkk.
Bayangkan: ada 5.490 penerima bantuan. Tersebar di 150 desa. Di 13 kecamatan. Dari ujung Pasongsongan sampai kepulauan Kangean.
Lalu bayangkan setiap orang yang menerima harus diperiksa satu-satu. Lalu dimintai keterangan, disinkronkan dengan data siapa yang memotong, siapa yang memerintah, siapa yang diam tapi tahu. Lalu siapa yang pura-pura tak tahu padahal ikut mencicipi, misalnya.
Tapi sayangnya, sekali lagi hukum kita bukan berdasarkan “katanya”. Bukan berdasarkan “saya dengar dari teman”.
Harus ada bukti. Harus ada aliran dana yang bisa dilacak. Harus ada saksi yang berani bicara dan bisa dikonfrontir. Harus ada dokumen, transfer, tanda tangan, rekaman, atau pengakuan yang saling menguatkan.
Dan itulah yang membuat penyidik sering seperti orang tersesat dalam labirin.
Saya membayangkan para penyidik sekarang sedang duduk geleng-geleng. Mau ditarik dari mana dulu benangnya? Siapa yang harus dimintai keterangan lebih dulu? Karena kalau semua dikejar, bisa-bisa satu kabupaten ikut terbakar.
Maka dugaan saya, paling jauh kasus ini hanya akan menyentuh “korkab” alias koordinator kabupaten. Itu pun jika cukup bukti. Karena ia dianggap paling punya posisi, paling tahu alur uang, dan paling mungkin jadi tumbal resmi.
Sisanya? Ya, kita tunggu saja episode berikutnya. Ini seperti sinetron. Panjang, berbelit, dan sering kali ending-nya antiklimaks. Tapi pasti sulit. Sulit menjangkau semua.
BSPS memang penuh drama. Tapi masalahnya ini drama yang nyata. Yang korbannya bukan aktor. Yang korbannya bulan penonton. Tapi manusia sungguhan.
Dan kita semua sedang menonton—dalam rasa lelah dan gelisah. (*)