Dr. KH. Zakky Mubarak, MA
Timesin.id, Jakarta – Tingkatan iman yang dimiliki oleh setiap orang muslim berbeda-beda kualitasnya, dari iman yang paling rendah sampai iman yang paling tinggi. Mereka yang memiliki iman yang sangat tinggi dan sangat mendalam akan merasakan manisnya atau lezatnya keimanan itu pada dirinya. Sebaliknya, mereka yang imannya rendah, belum bisa merasakan hal seperti itu, karena belum sampai ke derajat yang tinggi. Setiap orang bisa memperoleh kelezatan iman dan kenikmatannya, apabila memiliki kemauan yang kuat untuk meraihnya.
Dalam hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik, dari Nabi s.a.w. menjelaskan ada tiga hal yang dapat mengantarkan seseorang mencapai iman yang tinggi dan merasakan kelezatannya. Kriterianya adalah sebagai berikut: (1) orang itu mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi cintanya dari segala sesuatu. Kecintaan bagi orang yang imannya sangat tinggi, mengutaman cintanya pada Allah dan rasul-Nya. Semua kecintaan yang lain dikalahkan, termasuk kecintaan dan kesenangan pada istri atau suami, kecintaan pada anak-anak, harta, teman dan kerabat, kemewahan duniawi, termasuk kecintaan terhadap diri sendiri.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan mengutamakan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, Berarti orang tersebut telah menyadari bahwa semua petunjuk dan kebenaran datangnya hanya dari Allah dan rasul. Dengan demikian, orang itu akan terus melaksanakan segala perintah Allah dengan sungguh-sungguh, baik dalam bentuk ibadah, seperti shalat, zakat, shiyam, haji, dan sebagainya.
Dalam bermuamalah, ia juga akan menjadikan petunjuk Allah dan rasul-Nya sebagai pedoman dan aktivitas kesehariannya seperti pergaulan terhadap sesama, aktivitas bisnis, bekerja, mengelola perusahaan dan perdagangan, semuanya mengacu pada petunjuk Allah. Selain melaksanakan perintah Allah sebagaimana disebutkan di atas, juga orang itu meninggalkan segala hal yang dilarang oleh-Nya dalam berbagai bentuk. Sehingga, orang itu akan bersih dari segala perbuatan yang tercela.
Syarat yang ke (2), hendaknya orang itu mencintai segala sesuatu pada keluarganya, anak dan istrinya atau suaminya, mencintai kerabatnya, mencintai kegiatan ilmiah, mencintai sesamanya dilakukan semata-mata karena Allah s.w.t.. Ia tidak mencintai sesuatu yang bertumpu pada hal yang ia senangi, karena semuanya tidak ada yang kekal. Semuanya akan sirna, kecuali cinta yang didasarkan karena Allah s.w.t.. Kita mencintai anak-anak karena Allah, demikian juga mencintai segala sesuatu.
Syarat yang ke (3) hendaklah orang itu membenci sikap kekafiran dan kemunafikan sebagaimana bencinya apabila ia akan dilemparkan ke dalam api. Dengan sikap seperti ini, maka manusia muslim itu akan senantiasa menjaga dirinya dari ucapan, perbuatan, aktivitas yang dapat mengurangi kualiatas keimanannya. Mengenai mencintai Allah dan rasul-Nya yang lebih diutamakan termasuk berjuang di jalan-Nya disebutkan dalam al-Qur’an:
قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ
Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. al-Taubah, 09:24).
Dari ayat ini kita bisa memahami dengan jelas bahwa segala cinta kita kepada apapun, hendaknya tidak melebihi cinta kita kepada Allah, rasul-Nya, dan berjihad di jalan-Nya. Umar bin Khattab, seorang sahabat yang sering berbicara apa adanya dan tegas dalam membela kebenaran, sehingga beliau mendapat gelar al-Faruq, yaitu seorang yang membedakan baik dan buruk. Pernah berbicara kepada Nabi: Wahai Rasulullah, engkau adalah orang yang paling aku cintai dari segala sesuatu, kecuali diriku sendiri.
Rasulullah menjawab: tidak, wahai Umar, sehingga engkau mencintai diriku melebihi cintamu pada dirimu sendiri. Dengan sangat cepat, Umar bin Khattab merespons pernyataan Nabi, hampir tidak ada jarak antara ucapan Nabi dengan ucapan beliau, seolah-olah seperti apabila seorang istri melahirkan, maka suaminya menjadi seorang ayah. Antara melahirkan dan suaminya menjadi ayah tidak ada jarak, tapi secara langsung, begitu ia melahirkan suaminya otomatis menjadi ayah.
Umar segera merespons kalimat Nabi: Wahai Rasulullah, sungguh engkau orang yang lebih aku cintai dari segala sesuatu, bahkan melebihi cintaku kepada diriku sendiri. Nabi Menjawab: Sekarang wahai Umar, imanmu baru sempurna. Apabila seseorang telah memiliki tiga syarat itu, maka akan merasakan nikmatnya iman, manisnya iman, dan kelezatannya. Dengan imannya ia amat berbahagia dalam segala kehidupannya dari dunia hingga akhirat. Betapa mulianya orang yang telah memasuki derajat keimanan sehingga ia merasakan manisnya iman.***