*Oleh: Akhmadi Yasid (Jurnalis Senior, kini mengabdi di parlemen)
KOLOM – Seleksi komisioner Komisi Informasi di Sumenep sudah selesai. Nama-nama sudah keluar. DPRD, melalui Komisi I, sudah menuntaskan bagiannya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tapi, seperti setiap proses seleksi di republik ini, selalu ada sisa: pertanyaan yang menggantung, gumam yang berserakan, dan kekecewaan yang hanya terdengar samar.
Memang spanduk ucapan selamat sudah menunggu dicetak. Poster pun sudah menjadi status medsos. Proses sudah dianggap rampung.
Di republik ini, seleksi sering hanya jadi panggung. Wawancara live-stream, fit and proper test yang dipublikasikan, seolah-olah menandai keterbukaan.
Padahal, publik tahu, panggung hanya panggung: bagian depan dari sebuah rumah yang ruang belakangnya tak pernah terbuka.
Tapi harus diakui, memang kini tersisa suara-suara lirih: “Mengapa yang itu terpilih? Mengapa yang lain gugur?”
Ada yang bertanya, “kenapa yang ini tidak lolos?”
Ada pula yang, dengan nada setengah pasrah, menganggap hasilnya sudah tepat.
Pertanyaan itu, tentu, tak mencari jawaban. Karena semua tahu, jawaban jarang sekali datang dari seleksi semacam ini.
Publik, seperti biasa, kecewa dalam diam.
Ada yang menganggap: ah biasa. Silahkan artinya Anda tafsir sendiri.
Tapi di udara, aroma persoalan tetap tercium. Bukan hanya soal kelayakan—karena itu selalu bisa diperdebatkan—melainkan juga soal “transaksi” di balik layar.
Isu yang mungkin tak pernah terbukti, tapi selalu hadir dalam setiap percakapan tentang seleksi pejabat publik.
Tentu, yang terpilih punya kesempatan. Kesempatan untuk menjawab nyinyir dengan kinerja.
Jika mereka benar-benar qualified, jika kerja mereka benar-benar terasa, maka semua kecurigaan itu akan memudar.
Waktu, pada akhirnya, yang akan menimbang: apakah mereka sekadar nama di daftar keputusan DPRD, ataukah mereka sungguh-sungguh komisioner yang memberi arti bagi keterbukaan informasi.
Marilah kita adil: yang terpilih tetap punya kesempatan. Bila mereka bekerja dengan benar, bila keterbukaan informasi benar-benar dijalankan, nyinyir akan hilang dengan sendirinya.
Publik bisa lupa, atau pura-pura lupa, bahwa mereka dulu sempat curiga.
Dan tentang isu-isu yang beredar itu?
Ya, biarlah. Seperti gosip yang tak pernah bisa dibawa ke pengadilan.
Toh politik kita sudah terbiasa dengan kabar-kabar yang lebih sering berfungsi sebagai bayangan ketimbang kenyataan.
Seleksi sudah selesai.
Yang tersisa hanyalah menunggu: apakah kekecewaan yang diam itu akan berbuah pengakuan, ataukah justru menjadi catatan panjang lain tentang sebuah proses yang seakan tak pernah bebas dari nyinyir.
Sekali lagi waktu akan menguji. Tapi waktu, seperti kita tahu, seringkali hanya memperpanjang daftar nyinyir. Seperti Anda, kadang-kadang. Maaf. (*)