JAKARTA – Ketua Umum DPP KNPI, Putri Khairunnisa, angkat suara soal pembelian 42 unit jet tempur Rafale asal Prancis oleh pemerintah Indonesia, Kamis (29/5).
Dianggap Pemborosan Anggaran
Menurutnya, proyek senilai USD 8,1 miliar itu berpotensi menjadi pemborosan jika tak dibarengi dengan efektivitas nyata dalam memperkuat pertahanan nasional.
“Pembelian Jet Rafale jangan hanya boros di anggaran, namun juga harus memiliki nilai efektivitas untuk pertahanan nasional. Jangan hanya karena ambisi memiliki banyak pesawat tempur, tapi manfaatnya tidak bisa dirasakan,” ujar Nisa—sapaan akrabnya—kepada media, Kamis (29/5/2025), di Jakarta.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Enam unit Rafale rencananya akan dikirim tahun 2026, sementara sisanya menyusul. Pesawat generasi 4.5 ini selama ini dianggap simbol kecanggihan militer Barat. Namun, Nisa mengingatkan, realita di lapangan berkata lain.
“Keputusan ini pada awalnya dipandang sebagai langkah strategis dalam memperkuat pertahanan udara. Namun, peristiwa terbaru yang melibatkan jet Rafale milik India dalam konflik dengan Pakistan mengguncang persepsi dan menimbulkan pertanyaan besar,” kata Nisa.
Ia menyoroti insiden 7 Mei 2025, di mana Pakistan mengklaim menembak jatuh lima jet India—tiga di antaranya adalah Rafale.
Jet tersebut dikalahkan oleh pesawat J-10C buatan Tiongkok yang hanya seharga USD 50 juta, jauh lebih murah dari satu unit Rafale yang mencapai USD 192 juta.
“Masah pesawat tempur yang harganya empat kali lebih murah dari Jet J-10C atau sekitar USD 50 juta per unit, kok malah bisa mengalahkan Rafale yang harganya mencapai hampir USD 200 juta per unit,” tukas Nisa.
Ironi Pembelian Alutsista
Jet J-10C, didukung rudal PL-15 dengan jangkauan 145 kilometer, terbukti mampu menggugurkan klaim keunggulan teknologi Rafale. Di sinilah, kata Nisa, letak ironi pembelian alutsista mahal yang belum tentu cocok dengan kondisi strategis Indonesia.
“Apakah pembelian Rafale benar-benar didasarkan pada kebutuhan strategis atau hanya pada gengsi dan diplomasi pertahanan,” tanyanya.
Ia tidak menampik kecanggihan teknologi Rafale, mulai dari radar AESA hingga kemampuan multirole. Tapi menurutnya, peperangan modern kini ditentukan oleh sistem cerdas dan efisiensi jaringan.
“J-10 C dan PL-115 telah memasuki perang modern yang saat ini lebih mengedepankan kecerdasan sistem dan integrasi jaringan. Sehingga prosesnya bukan lagi semata keunggulan aerodinamika atau nama besar produsen,” pungkasnya.