Jakarta – Di balik sorotan kamera dan pernyataan resmi, pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri pada Senin 7 April 2025, malam, di Teuku Umur Jakpus, menyisakan isyarat halus namun strategis. Kamis (10/4).
Bukan sekadar silaturahmi politik, pertemuan itu membuka jalur komunikasi senyap yang bisa menggeser peta kekuatan politik nasional tanpa disadari publik.
Bisa disebut bahwa Prabowo tengah membangun blok politik non-formal, berbasis komunikasi pribadi dan loyalitas lama.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tujuannya bukan membentuk koalisi baru secara formal, melainkan mengisolasi kekuatan oposisi agar tidak menjadi ancaman signifikan terhadap stabilitas politik nasional.
Sementara publik sibuk memperdebatkan apakah PDI-P akan bergabung dalam pemerintahan, Prabowo justru menggarap poros alternatif – mengaktifkan tokoh-tokoh senior yang sebelumnya diam. Ini bukan langkah populis, tapi gerakan diplomasi dalam senyap: merangkul lawan tanpa membuat sekutu merasa kehilangan kuasa.
Megawati, dalam pertemuan tersebut, dikabarkan lebih banyak mendengarkan. Namun gestur halus, seperti penyajian teh favorit Prabowo dan pemilihan ruang tamu khusus, dianggap sebagai sinyal rekonsiliasi bertahap.
Jika strategi ini berlanjut, Indonesia bisa memasuki era politik hening: stabil, tapi penuh kalkulasi dalam ruang tertutup. Dan publik mungkin baru menyadarinya ketika semua sudah tertata, tanpa gaduh, tanpa sorak sorai.
Pertemuan itu berlangsung tanpa pengumuman resmi sebelumnya, hanya segelintir orang dalam yang tahu bahwa Presiden Prabowo akan melangkah masuk ke rumah Megawati di Jalan Teuku Umar.
Tidak ada iring-iringan besar, tidak ada konferensi pers usai pertemuan. Namun, keheningan itulah yang justru memperbesar gaung politiknya.
Banyak yang menafsirkan, langkah ini adalah bagian dari diplomasi simbolik: mendatangi tanpa memaksa, berbicara tanpa menggiring opini publik.